Gangguan Identitas Gender dan Seksualitas pada Remaja: Tinjauan Klinis, Epidemiologi, dan Strategi Penanganan
Penulis Yudhasmara Sandiaz¹, Widodo Judarwanto²
Abstrak
Gangguan identitas gender (gender dysphoria) pada remaja merupakan tantangan klinis dan sosial yang kompleks, karena melibatkan ketidakselarasan antara identitas gender yang dirasakan dengan jenis kelamin biologis yang ditetapkan saat lahir. Penelitian ini mengkaji epidemiologi, definisi klinis, penyebab, tanda dan gejala, serta strategi penanganan dan pencegahan gangguan identitas gender pada remaja di konteks kesehatan anak dan remaja di Indonesia. Metode yang digunakan adalah tinjauan literatur naratif terhadap jurnal internasional dan lokal terkini. Hasil menunjukkan bahwa prevalensi gender dysphoria tetap rendah tetapi melibatkan komorbiditas psikiatrik yang tinggi. Faktor penyebab bersifat multifaktorial, mencakup faktor biologis, hormonal, genetik, dan psikososial. Penanganan ideal memerlukan pendekatan multi-disipliner: terapi afirmasi gender, konseling psikososial, dukungan keluarga, perawatan medis (jika diperlukan), dan kebijakan kesehatan. Pencegahan menuntut edukasi gender, inklusi sosial di sekolah, pelatihan tenaga kesehatan, dan advokasi kebijakan publik. Kesimpulannya, penanganan gangguan identitas gender pada remaja harus berbasis bukti, sensitif gender, dan kolaboratif lintas sektor.
Pendahuluan
Masa remaja merupakan fase perkembangan kritikal, di mana identitas gender dan ekspresi seksual mulai teruji dan terbentuk. Bagi sebagian remaja, perasaan identitas gender yang tidak sesuai dengan jenis kelamin biologis dapat menimbulkan konflik internal, stres psikologis, dan risiko kesehatan mental. Kondisi ini dikenal secara klinis sebagai gender dysphoria (disforia gender), yang dalam DSM‑5 didefinisikan sebagai ketidakselarasan antara identitas gender dan karakteristik seks biologis yang menimbulkan distres atau disfungsi sosial.
Di Indonesia, dinamika sosial, agama, dan budaya memperumit pemahaman dan penerimaan identitas gender non-normatif. Norma heteronormatif dan tekanan sosial dalam keluarga atau sekolah dapat meningkatkan beban psikologis bagi remaja dengan identitas gender beragam. Studi lokal juga menunjukkan bahwa keterikatan orang tua (parent attachment) memiliki peran penting dalam perkembangan identitas gender dan orientasi seksual remaja.
Epidemiologi
- Prevalensi Global dan Klinis
Gender dysphoria pada remaja masih tergolong jarang dalam populasi umum, meskipun pengakuan klinis meningkat. Menurut ulasan naratif, individu muda dengan gender dysphoria mengalami “marked incongruence” antara identitas gender dan karakteristik seks biologis yang berlangsung minimal 6 bulan.
Sebuah studi pada populasi klinis (pasien rujukan) menunjukkan bahwa dysphoria ini sering disertai dengan beban komorbiditas psikiatrik seperti depresi dan kecemasan. - Tingkat Rujukan & Tren Layanan
Model perawatan untuk remaja dengan gender dysphoria bervariasi antar-negara. Misalnya, tinjauan perawatan klinis menunjukkan adanya perbedaan antara model medis “affirmative” dengan pendekatan yang lebih konservatif atau holistik dalam menangani remaja.
Perubahan terminologi dari “gender identity disorder” menjadi “gender dysphoria” (DSM-5) juga meningkatkan sensitivitas klinis dan menurunkan stigma, sehingga lebih banyak remaja mencari bantuan psikologis. - Konteks Indonesia & Sosial Budaya
Di konteks Indonesia, penelitian sosial menunjukkan bahwa heteronormativitas sangat mempengaruhi perkembangan identitas seksual dan gender remaja.
Selain itu, literatur lokal menyebutkan faktor-faktor psikososial seperti keterikatan orang tua (parent attachment) yang dapat mempengaruhi identitas gender dan orientasi seksual remaja LGBT.
Definisi Klinis
- Definisi Gender Dysphoria
Menurut DSM‑5 (dan revisinya), gender dysphoria pada remaja dan dewasa didefinisikan sebagai ketidakselarasan yang menonjol (“marked incongruence”) antara identitas gender yang dialami/diungkapkan dan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Kondisi ini harus berlangsung minimal 6 bulan dan disertai setidaknya dua dari kriteria seperti hasrat untuk menghilangkan karakteristik seksual, keinginan hidup sebagai gender lain, dan keyakinan kuat bahwa dirinya memiliki perasaan dan reaksi khas gender lain.
Distres klinis (kesusahan psikologis) atau gangguan fungsi (sosial, pekerjaan, sekolah) juga merupakan bagian dari definisi diagnostik. - Terminologi dan Evolusi Diagnostik
Istilah “gender identity disorder” (GID) dihapus dalam DSM-V karena dianggap patologi identitas. Sebagai gantinya, “gender dysphoria” menekankan distres yang dialami, bukan identitas gender itu sendiri.
Di kalangan klinis dan penelitian, perbedaan ini penting untuk mengurangi stigma dan memusatkan perhatian pada kebutuhan penanganan daripada pathologisasi identitas. - Variasi Usia dan Perkembangan
Pada remaja, ekspresi dysphoria dapat muncul ketika pubertas dimulai dan karakteristik sekunder jenis kelamin menjadi jelas.
Selain itu, tidak semua remaja dengan ekspresi gender non-konform (misalnya perilaku “tomboy” atau “girlish”) mengalami dysphoria – diagnosis memerlukan evaluasi klinis menyeluruh.
Penyebab dan Faktor Risiko
- Faktor Biologis dan Genetik
Penelitian menunjukkan peran potensial dari faktor genetik dan neurobiologis dalam gender dysphoria. Sebagai contoh, studi menunjukkan adanya perbedaan struktur dan fungsi otak pada individu dengan dysphoria gender.
Disregulasi hormonal juga diidentifikasi sebagai faktor, seperti pada kondisi interseks atau hiperplasia adrenal kongenital, yang bisa berkontribusi pada ketidaksesuaian antara jenis kelamin biologis dan identitas gender yang dirasakan. - Faktor Psikososial
Lingkungan keluarga, pola asuh, dan keterikatan orang tua (parent attachment) sangat penting. Remaja yang memiliki hubungan emosional kurang kuat dengan orang tua atau yang mengalami tekanan pada peran gender tradisional mungkin lebih rentan mengalami konflik identitas gender.
Budaya dan norma sosial (termasuk heteronormativitas) juga memengaruhi: tekanan sosial dan norma gender dapat memperburuk kesulitan internal dalam mengekspresikan identitas gender non-normatif. - Faktor Lingkungan & Stres Minoritas
Diskriminasi, stigma, dan kurangnya penerimaan sosial juga merupakan faktor penting dalam perkembangan dan pemeliharaan gender dysphoria. Stres minoritas (minority stress) dapat memperburuk distres psikologis.
Selain itu, paparan sosial media dan lingkungan peer yang tidak memahami gender beragam dapat memperkuat konflik identitas pada remaja.
Tanda dan Gejala
| Domain | Tanda / Gejala |
|---|---|
| Perilaku & Ekspresi Gender | Mengungkapkan keinginan kuat menjadi gender lain, berpakaian atau memakai atribut gender berbeda, menolak karakteristik seks biologis, bermain peran sejenis lawan gender. |
| Emosional / Psikologis | Distres, kecemasan, depresi, frustrasi, perasaan terjebak dalam tubuh yang “salah”, keinginan isolasi sosial. |
| Fungsi Sosial & Akademik | Kesulitan di sekolah, penarikan diri dari teman sebaya, konflik dengan keluarga, penurunan performa akademik, kurangnya dukungan sosial. |
- Pada domain perilaku, remaja dengan gender dysphoria sering secara konsisten mengekspresikan identitas gender yang berbeda dari jenis kelamin biologis mereka, misalnya melalui pilihan pakaian, gaya bicara, atau permainan.
- Secara emosional, mereka sering merasakan ketidaknyamanan mendalam, tekanan batin, dan konflik identitas yang bisa menimbulkan kecemasan, depresi, atau frustrasi kronis.
- Dalam fungsi sosial dan akademik, konflik identitas ini bisa mengganggu hubungan interpersonal, menyebabkan isolasi, dan berdampak negatif pada prestasi sekolah atau keterlibatan sosial.
Penanganan
Berikut strategi penanganan disarankan untuk remaja dengan gangguan identitas gender:
- Terapi Psikososial / Konseling Afirmatif
Terapi individu dan kelompok dengan profesional yang memahami isu gender dapat membantu remaja mengeksplorasi identitas mereka, mengatasi distres, dan mengembangkan strategi koping. - Terapi Keluarga / Edukasi Keluarga
Melibatkan orang tua dalam terapi untuk membangun pemahaman, dukungan emosional, dan komunikasi yang terbuka tentang identitas gender. Latihan parenting dan terapi keluarga sangat penting. - Perawatan Gender-Afirmasi
Bila diperlukan dan sesuai dengan perkembangan, pendekatan gender-affirming (misalnya dukungan sosial, penggunaan nama dan pronoun yang sesuai) dapat sangat meningkatkan kesejahteraan mental remaja. - Intervensi Medis (Jika Klinik & Indikasi)
Dalam beberapa kasus, intervensi medis seperti pubertas blokers atau terapi hormon (sesuai pedoman klinik) mungkin dipertimbangkan berdasarkan evaluasi risiko/manfaat oleh tim multi-disipliner. - Model Perawatan Lintas Disiplin
Model perawatan ideal melibatkan psikiater, psikolog, endokrinolog, pekerja sosial, dan profesional kesehatan remaja lainnya untuk memberikan perawatan holistik dan berkelanjutan.
Pencegahan
Langkah-langkah pencegahan guna mendukung remaja dengan identitas gender beragam:
- Edukasi Gender di Sekolah
Memasukkan pendidikan inklusif gender di kurikulum sekolah agar siswa memahami keragaman identitas dan orientasi gender sejak dini. - Pelatihan Tenaga Kesehatan
Melatih tenaga medis, guru, dan konselor sekolah tentang gender dysphoria agar mereka dapat mendeteksi dini dan memberikan dukungan yang affirmatif. - Dukungan Sosial & Komunitas
Membentuk kelompok sebaya (peer-support) atau komunitas remaja gender-diverse untuk memberikan ruang aman dan dukungan. - Advokasi Kebijakan Publik
Mengadvokasi kebijakan inklusif dan perlindungan hak bagi remaja gender-diverse, misalnya kebijakan sekolah, kesehatan reproduktif, dan akses layanan kesehatan mental.
Kesimpulan
Gangguan identitas gender pada remaja (gender dysphoria) adalah kondisi yang kompleks dan multifaktorial, dengan dampak psikologis dan sosial yang signifikan. Meski prevalensi relatif rendah, beban distres dan komorbiditas mental dapat sangat berat jika tidak ditangani secara tepat. Penanganan harus berbasis pendekatan multi-disipliner, afirmatif, kolaboratif, dan sensitif gender. Pencegahan perlu melalui edukasi gender, dukungan keluarga, pelatihan tenaga profesional, dan advokasi kebijakan. Untuk masa depan, penelitian lokal lebih lanjut diperlukan untuk memahami konteks Indonesia dan mengembangkan model perawatan yang sesuai budaya.
Daftar Pustaka
- Kaltiala-Heino R. Gender dysphoria in adolescence: current perspectives. Adolescent Health, Medicine and Therapeutics. 2018.
- Clemente EG, Oppenheimer LW, Menvielle E. A narrative review of gender dysphoria in childhood and adolescence. Translational Pediatrics. 2024.
- Judge C, Joosten A, Pandya N, Davis S, et al. Gender Dysphoria – Prevalence and Co‑Morbidities in an Irish Adult Population. Frontiers in Endocrinology. 2014.
- El Fuadhilah HA. A Literature Review Memahami Gender Dysphoria. ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab. Vol. 6 No. 2, 2025.
- Psychiatry.org. What is Gender Dysphoria? American Psychiatric Association.
- Ouliaris C, Butler G, de Vries ALC. Models of care for gender dysphoria in young persons. Journal of Psychiatric Research / Psychiatry Research. 2022.
- Andina, E. Faktor Psikososial dalam Interaksi Remaja dengan Gender Dysphoria. Jurnal Aspirasi. 2019.
- Mahfudhotin S. Kajian Teori – Gangguan Identitas Gender. Tesis Master, UIN Malang, 2012.
- Ardiansyah S. Kesehatan Mental Remaja: Hubungan dengan Identitas Gender. Repository Binawan Institute.







Leave a Reply