DOKTER AIRLANGGA

SMART PEOPLE, SMART HEALTH

Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Perspektif Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya: Tantangan dan Solusi untuk Negara Berkembang

Ketahanan Sistem Kesehatan dalam Perspektif Sosial, Ekonomi, Politik, dan Budaya: Tantangan dan Solusi untuk Negara Berkembang

Abstrak

Ketahanan sistem kesehatan (health system resilience) merupakan kemampuan suatu negara dalam mencegah, merespons, dan pulih dari krisis kesehatan, termasuk pandemi, bencana alam, dan instabilitas sosial politik. Faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya berperan penting dalam menentukan kapasitas adaptasi sistem kesehatan. Artikel ini mengkaji bagaimana ketimpangan sosial ekonomi, tata kelola politik, kapasitas fasilitas kesehatan, dan norma budaya mempengaruhi ketahanan sistem kesehatan, dengan analisis berbasis data global dari WHO, World Bank, dan OECD.

Temuan menunjukkan bahwa negara dengan investasi kesehatan rendah, tenaga medis terbatas, distribusi layanan tidak merata, dan tingkat literasi kesehatan rendah memiliki risiko lebih besar terhadap guncangan kesehatan. Artikel ini menyajikan rekomendasi strategis melalui pendekatan multisektor, penguatan tata kelola, digitalisasi, dan pemberdayaan komunitas.

Pendahuluan

Ketahanan sistem kesehatan menjadi isu global utama setelah pandemi COVID-19 memperlihatkan kelemahan struktural banyak negara, termasuk keterbatasan fasilitas kesehatan, ketidaksiapan logistik, dan ketimpangan akses pelayanan. Ketahanan sistem kesehatan tidak hanya ditentukan oleh kapasitas medik, tetapi juga faktor sosial, ekonomi, politik, serta budaya yang membentuk perilaku masyarakat dan respons pemerintah.

Dalam konteks negara berkembang, tantangan ketahanan sistem kesehatan semakin kompleks akibat urbanisasi cepat, ketimpangan pendapatan, serta beban penyakit ganda (penyakit infeksi dan penyakit tidak menular). Oleh karena itu, memahami determinan multidimensional ini menjadi penting untuk merumuskan kebijakan kesehatan yang berkelanjutan.

Permasalahan:

1. Ketimpangan Akses Layanan Kesehatan

Data WHO (2023) menunjukkan bahwa lebih dari half world population (4.5 miliar orang) tidak mendapatkan layanan kesehatan esensial secara penuh. Negara berkembang mengalami ketimpangan geografis signifikan: rasio dokter di wilayah urban 3–10 kali lebih tinggi dibanding rural. Di Indonesia, rasio dokter hanya 0,47 per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar OECD (3,5/1.000).

2. Keterbatasan Pendanaan Kesehatan

Menurut World Bank (2022), lebih dari 30 negara berpendapatan rendah hanya mengalokasikan kurang dari 4% GDP untuk kesehatan, padahal WHO merekomendasikan minimum 5%. Akibatnya, negara tersebut memiliki ketergantungan besar pada pembiayaan out-of-pocket yang mencapai 60–70%, meningkatkan risiko kemiskinan akibat biaya kesehatan

3. Kerentanan terhadap Bencana dan Krisis

Banyak negara berkembang berada di wilayah rawan bencana. BNPB mencatat Indonesia mengalami lebih dari 3.000 kejadian bencana per tahun, menyebabkan gangguan fasilitas kesehatan, rantai pasok obat, serta pelayanan ibu dan anak. COVID-19 juga menunjukkan lemahnya sistem surveilans: hanya 40% negara berpendapatan rendah memiliki laboratorium rujukan genomik.

4. Faktor Sosial dan Budaya yang Membentuk Respons Kesehatan

Literasi kesehatan rendah menyebabkan keterlambatan dalam mencari pertolongan dan rendahnya kepatuhan pengobatan. Studi WHO (2021) menunjukkan bahwa informasi kesehatan yang salah (misinformasi) meningkat 30% selama pandemi, mempengaruhi tingkat vaksinasi dan kepatuhan protokol kesehatan. Nilai budaya tertentu juga mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan, seperti preferensi pengobatan tradisional.

Solusi 

1. Memperkuat Tata Kelola dan Pembiayaan Kesehatan

Pemerintah perlu meningkatkan alokasi anggaran kesehatan hingga 5–6% GDP, memperbaiki sistem JKN/insurance pooling, dan mengurangi beban out-of-pocket. Transparansi dan efisiensi pembelanjaan harus ditingkatkan melalui audit digital keuangan dan pemetaan belanja kesehatan berbasis kebutuhan daerah.

2. Membangun Sistem Kesehatan Primer yang Tangguh

Investasi pada puskesmas, klinik primer, dan tenaga kesehatan komunitas terbukti meningkatkan ketahanan nasional. WHO (2022) menegaskan bahwa negara dengan layanan primer kuat mampu mengurangi mortalitas darurat hingga 30%. Pemerataan tenaga medis dapat dilakukan melalui insentif daerah, sistem WFH/telemedicine, dan kolaborasi swasta–publik.

3. Digitalisasi dan Integrasi Sistem Kesehatan

Implementasi rekam medis elektronik nasional, telemedicine, big data epidemiologi, dan AI untuk prediksi wabah diperlukan untuk meningkatkan respons cepat. Indonesia perlu meniru model Estonia dan Korea Selatan yang menggunakan centralized health data untuk mitigasi krisis kesehatan secara real-time.

4. Penguatan Sistem Surveilans dan Kesiapsiagaan Bencana

Infrastruktur laboratorium regional, early-warning system penyakit infeksi, dan rantai pasok obat yang tahan gangguan harus menjadi prioritas. Pembentukan health emergency operation center (HEOC) di setiap provinsi dapat mempercepat respons pada 72 jam pertama.

5. Pemberdayaan Sosial-Budaya dan Literasi Kesehatan Masyarakat

Strategi komunikasi berbasis komunitas, tokoh agama, sekolah, dan media sosial diperlukan untuk meningkatkan literasi kesehatan dan mengurangi misinformasi. Intervensi budaya, termasuk pelibatan adat lokal dalam penanganan bencana, terbukti meningkatkan efektivitas program kesehatan.

Kesimpulan

Ketahanan sistem kesehatan merupakan isu multidimensi yang dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Negara berkembang seperti Indonesia perlu memperkuat tata kelola, meningkatkan pendanaan, mendigitalisasi sistem kesehatan, serta memperkuat layanan primer dan surveilans. Pendekatan berbasis komunitas dan budaya menjadi elemen penting agar reformasi kesehatan berkelanjutan dan inklusif.

Saran

  1. Pemerintah meningkatkan investasi kesehatan dan memperkuat manajemen risiko.
  2. Tenaga kesehatan dilatih untuk kesiapsiagaan bencana dan penggunaan teknologi digital.
  3. Komunitas lokal diberdayakan melalui peningkatan literasi kesehatan.
  4. Kerja sama internasional ditingkatkan untuk pertukaran teknologi dan bantuan teknis.

Daftar Pustaka 

  1. World Health Organization. Tracking Universal Health Coverage: 2023 Global Monitoring Report. WHO; 2023.
  2. World Bank. World Development Indicators: Health Expenditure. World Bank; 2022.
  3. OECD. Health at a Glance 2023. OECD Publishing; 2023.
  4. Kruk ME, et al. Building resilient health systems: a proposal for a resilience index. BMJ. 2022;378:e070544.
  5. Blanchet K, et al. An evidence review of health system resilience in low-income countries. Health Policy Plan. 2021;36:431–439.
  6. Kluge H, et al. Strengthening public health services during pandemic recovery. Lancet. 2021;397:1520–1521.
  7. Marwaha S, et al. The impact of misinformation on health behaviour during COVID-19. J Glob Health. 2021;11:05023.
  8. Adisasmito W, et al. Pandemic preparedness in Southeast Asia. Lancet Reg Health Southeast Asia. 2023;5:100123.
  9. WHO. Primary Health Care: Measurement and Performance. WHO; 2022.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *