DOKTER AIRLANGGA

SMART PEOPLE, SMART HEALTH

Gizi, dan Penurunan Fungsi pada Lansia: Tinjauan Integratif Menuju Pengembangan Strategi Nutrisi Geriatri Berbasis Bukti

Gizi, dan Penurunan Fungsi pada Lansia: Tinjauan Integratif Menuju Pengembangan Strategi Nutrisi Geriatri Berbasis Bukti

Yudhasmara Sandiaz, Judarwanto Widodo

Abstrak

Penuaan membawa perubahan fisiologis, metabolik, dan fungsional yang signifikan sehingga meningkatkan risiko malnutrisi, gangguan gigi-mulut, penyakit kronis, dan penurunan fungsi. Literatur terbaru menegaskan bahwa asupan gizi yang tidak adekuat, masalah fungsi kunyah, multimorbiditas, frailty, serta hambatan psikososial saling berinteraksi secara dua arah memperburuk status gizi pada lansia. Artikel ini mensintesis bukti dari ilmu gizi, kesehatan mulut, dan asesmen geriatri komprehensif (AGK) untuk menghadirkan kerangka kerja terpadu dalam intervensi nutrisi lansia. Tema utama mencakup anoreksia pada usia lanjut, defisiensi mikronutrien, sarkopenia, hubungan kesehatan mulut–nutrisi, serta peran terapi nutrisi berbasis AGK. Tinjauan ini juga membahas tantangan dalam pengembangan pangan geriatri yang disesuaikan dengan kebutuhan sensorik, menelan, metabolik, dan fungsional. Bukti menunjukkan bahwa skrining dini, rencana makan individual, rehabilitasi kesehatan mulut, dan model perawatan berbasis caregiver secara signifikan meningkatkan kualitas hidup lansia. Penelitian mendatang perlu memperkuat konsep nutrisi fungsional, strategi diet berbasis biogerontologi, dan evaluasi luas efektivitas intervensi berbasis AGK.

Kata kunci: lansia, malnutrisi, kesehatan mulut, sarkopenia, nutrisi geriatri, asesmen geriatri komprehensif, pangan geriatri

1. Pendahuluan

Populasi lansia meningkat secara drastis di seluruh dunia, dan membawa implikasi besar bagi kesehatan masyarakat, khususnya dalam hal malnutrisi, gangguan mulut, dan frailty. Penuaan ditandai heterogenitas biologis serta akumulasi kerusakan seluler yang memengaruhi kemampuan fungsional, regulasi nafsu makan, dan metabolisme tubuh. Status gizi yang baik merupakan fondasi penting dalam menjaga keseimbangan fisik, kognitif, dan emosional pada lansia.

Faktor penyebab malnutrisi pada lansia tidak hanya fisiologis, tetapi juga dipengaruhi penyakit kronis, keterbatasan fungsi, polifarmasi, depresi, isolasi sosial, serta gangguan kesehatan gigi-mulut. Karena sifatnya multifaktorial, pendekatan nutrisi lansia memerlukan integrasi multidisiplin untuk mencapai hasil yang optimal. Artikel ini merangkum perkembangan ilmiah terbaru dalam nutrisi, kesehatan mulut, dan AGK untuk merumuskan strategi perbaikan status gizi lansia yang efektif.

2. Metode

Tinjauan ini menggunakan pendekatan naratif berdasarkan studi peer-reviewed dari PubMed dengan fokus pada:

  1. defisiensi nutrisi pada lansia,
  2. hubungan kesehatan mulut–nutrisi,
  3. intervensi berbasis AGK,
  4. pengembangan pangan geriatri,
  5. dampak jangka panjang malnutrisi.

Artikel klasik dan referensi terbaru (2019–2025) dimasukkan untuk memberikan konteks komprehensif.

3. Perubahan Fisiologis dan Metabolik pada Lansia yang Relevan dengan Nutrisi

Penuaan menyebabkan penurunan Basal Metabolic Rate, gangguan indra pengecap dan penciuman, melambatnya pengosongan lambung, serta deregulasi hormon yang mengatur rasa lapar (ghrelin, leptin). Perubahan ini memicu anoreksia lansia dan penurunan asupan makanan.

Penurunan massa otot dan fungsi mitokondria menyebabkan sarkopenia, mengurangi mobilitas dan meningkatkan ketergantungan. Kekurangan mikronutrien seperti vitamin D, B12, folat, kalsium, dan protein berkaitan erat dengan osteoporosis, penurunan kognitif, gangguan imun, dan penyembuhan luka yang buruk.

4. Malnutrisi pada Lansia

Malnutrisi pada lansia merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan lebih sering terjadi dibandingkan pada kelompok usia muda karena penuaan membawa perubahan fisiologis, metabolik, psikologis, dan sosial yang signifikan. Penurunan sensasi pengecap dan penciuman, berkurangnya produksi saliva, gangguan pengosongan lambung, hingga perubahan hormonal seperti penurunan ghrelin dan peningkatan leptin menyebabkan anoreksia lansia, yaitu kondisi berkurangnya nafsu makan secara kronis. Selain faktor biologis, penyakit kronis seperti diabetes, gagal jantung, PPOK, kanker, dan penyakit neurodegeneratif berkontribusi besar terhadap penurunan intake dan peningkatan kebutuhan metabolik. Polifarmasi—umumnya konsumsi lebih dari 5 obat—menambah beban dengan menimbulkan efek samping seperti mual, mulut kering, sembelit, atau perubahan rasa. Kondisi psikologis seperti depresi dan demensia juga mengurangi minat makan, sementara faktor sosial seperti isolasi, kehilangan pasangan, kesepian, dan keterbatasan ekonomi menurunkan kemampuan lansia untuk membeli, menyiapkan, atau mengonsumsi makanan bergizi. Disfagia, gangguan gigi-mulut, dan penggunaan gigi tiruan yang tidak cocok semakin membatasi pemilihan makanan, membuat lansia cenderung memilih makanan lunak rendah protein dan mikronutrien. Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan prevalensi malnutrisi pada lansia rawat inap mencapai 22–46%, dan sekitar 10–20% pada lansia yang tinggal di komunitas.

Konsekuensi malnutrisi sangat serius: peningkatan risiko infeksi, luka sulit sembuh, penurunan massa otot dan kekuatan (sarkopenia), penurunan fungsi kognitif, meningkatnya risiko jatuh, hospitalisasi berulang, serta mortalitas lebih tinggi. Studi terbaru menunjukkan bahwa lansia dengan asupan protein kurang dari 0,8 g/kg/hari mengalami percepatan frailty 1,5 kali lebih cepat dibanding kelompok dengan asupan adekuat. Oleh karena itu, deteksi dini menjadi aspek penting dalam pencegahan dan penanganan. Instrumen skrining seperti Mini Nutritional Assessment (MNA) efektif untuk menilai risiko dan status malnutrisi, sementara Subjective Global Assessment (SGA) membantu menilai aspek klinis seperti kehilangan berat badan, perubahan asupan, dan kondisi medis penyerta. Pengukuran antropometri—termasuk BMI, lingkar lengan atas (LILA), dan lingkar betis—bermanfaat sebagai indikator fungsional dan prediktor frailty. Bukti menunjukkan bahwa lingkar betis <31 cm berkorelasi kuat dengan risiko sarkopenia dan penurunan mobilitas. Dengan penggabungan skrining nutrisi, penilaian klinis, dan evaluasi fungsional, tenaga kesehatan dapat mengidentifikasi lansia dalam risiko dan mengimplementasikan intervensi nutrisi secara lebih cepat dan tepat sasaran.

5. Kesehatan Mulut, Pengunyahan, dan Asupan Nutrisi

Penyakit gigi dan mulut—karies, penyakit periodontal, aus gigi, hingga kanker mulut—memiliki hubungan erat dengan kualitas nutrisi. Gangguan gigi menyebabkan penurunan efisiensi kunyah dan membatasi konsumsi buah, sayur, dan protein berkualitas.

Sebaliknya, malnutrisi memperburuk sistem imun dan mempercepat infeksi periodontal. Nyeri, mulut kering (xerostomia), gigi tiruan longgar, dan disfagia menambah hambatan konsumsi makanan. Integrasi perawatan kesehatan mulut ke dalam program nutrisi geriatri sangat penting.

6. Pangan Geriatri: Sensori, Fungsional, dan Keselamatan Konsumsi

Pengembangan makanan khusus lansia perlu mempertimbangkan keterbatasan sensorik (penurunan rasa dan aroma), kesulitan mengunyah, gangguan menelan, intoleransi gastrointestinal, metabolisme melambat, dan kebutuhan mikronutrien lebih tinggi.

Pangan geriatri ideal harus:

  • dimodifikasi tekstur namun tetap padat gizi,
  • tinggi protein dan mikronutrien,
  • rendah gula dan garam,
  • mudah dicerna dan sesuai budaya,
  • difortifikasi untuk mencegah defisiensi.

Arah baru penelitian mencakup pangan fungsional untuk sarkopenia, kognisi, dan imunitas.

7. Asesmen Geriatri Komprehensif (AGK) sebagai Kerangka Intervensi Nutrisi

AGK menilai aspek medis, psikologis, fungsional, dan sosial secara multidimensional. Temuan penelitian menunjukkan korelasi kuat antara parameter AGK dengan status nutrisi: BMI rendah, lingkar betis rendah, skor ADL/IADL buruk, dan kelemahan fisik menjadi indikator utama.

Pendekatan AGK meningkatkan deteksi dini malnutrisi, sarkopenia, disfagia, dan kakeksia, sehingga intervensi nutrisi dapat disesuaikan secara individual. Terapi nutrisi berbasis AGK terbukti menurunkan komplikasi, lama rawat inap, dan tingkat kematian.

8. Intervensi Nutrisi Individual pada Lansia. Intervensi nutrisi pada lansia perlu disesuaikan dengan kondisi klinis, kemampuan makan, dan risiko komplikasi. Pendekatan ini mencakup peningkatan bertahap asupan energi dan protein, penggunaan suplemen nutrisi oral bila diperlukan, serta penyesuaian tekstur makanan mengikuti standar IDDSI untuk mencegah aspirasi. Pada kondisi tertentu seperti disfagia kronis atau anoreksia berat, nutrisi enteral dapat menjadi pilihan sementara. Selain itu, edukasi caregiver mengenai cara pemberian makanan yang aman dan pemantauan setelah rawat inap sangat penting untuk mencegah kekambuhan malnutrisi dan mempertahankan status gizi optimal.

  • Optimasi energi dan protein secara bertahap untuk mencegah refeeding syndrome Pada lansia dengan malnutrisi sedang–berat, peningkatan energi dan protein harus dilakukan bertahap untuk mencegah refeeding syndrome, yaitu kondisi berbahaya akibat pergeseran elektrolit secara cepat (hipofosfatemia, hipokalemia, hipomagnesemia). Pemenuhan energi dimulai dari 10–15 kcal/kg/hari, kemudian ditingkatkan perlahan hingga mencapai target 25–30 kcal/kg/hari. Asupan protein ditingkatkan menuju >1–1,2 g/kg/hari untuk mendukung perbaikan massa otot dan mencegah sarkopenia. Pemantauan elektrolit, tanda vital, dan fungsi jantung diperlukan terutama pada lansia frail, pasien bedrest lama, atau mereka yang mengalami penurunan berat badan drastis. Pendekatan bertahap ini terbukti menurunkan risiko komplikasi metabolik dan meningkatkan toleransi terhadap intervensi nutrisi.
  • Suplemen nutrisi oral tinggi protein dan vitamin D Suplemen nutrisi oral (ONS) berfungsi sebagai tambahan ketika diet biasa tidak mencukupi kebutuhan gizi. Produk tinggi protein (20–30 g/serving) dan diperkaya vitamin D terbukti meningkatkan massa otot, kekuatan genggam, status fungsional, serta menurunkan risiko jatuh. Vitamin D sangat penting bagi lansia karena penurunan sintesis kulit dan rendahnya paparan sinar matahari, sementara protein berkualitas tinggi membantu memperbaiki keseimbangan nitrogen dan sintesis otot. Studi RCT menunjukkan bahwa konsumsi ONS 1–2 kali sehari selama 12 minggu secara signifikan meningkatkan BMI, albumin serum, dan kapasitas berjalan 6 menit. Suplemen sebaiknya dipilih yang rendah gula dan mudah ditelan, serta diberikan di antara waktu makan agar tidak menurunkan nafsu makan.
  • Diet modifikasi tekstur mengikuti standar IDDSI bagi lansia dengan disfagia Lansia dengan gangguan menelan (disfagia) memerlukan diet modifikasi tekstur sesuai standar International Dysphagia Diet Standardisation Initiative (IDDSI) untuk mengurangi risiko tersedak dan pneumonia aspirasi. IDDSI membagi makanan berdasarkan tingkat kekentalan dan tekstur, mulai dari cair bening hingga makanan padat lunak. Penerapan diet ini memungkinkan individualisasi sesuai tingkat keparahan disfagia, termasuk penyesuaian kekentalan cairan, penggunaan teknik pemadatan (thickening agents), serta bentuk makanan yang mudah dilumat. Intervensi ini harus melibatkan terapis wicara, ahli gizi, dan caregiver untuk memastikan pasien tetap mendapatkan energi dan protein yang optimal. Penelitian menunjukkan bahwa implementasi IDDSI menurunkan kejadian aspirasi dan meningkatkan keamanan makan pada lansia.
  • Nutrisi enteral (NE) untuk anoreksia berat atau disfagia kronis NE menjadi pilihan ketika intake oral tidak mencukupi, terutama pada lansia dengan anoreksia berat, gangguan kognitif lanjut, penyakit neurologis (stroke, Parkinson), atau disfagia kronis yang tidak membaik. Rute enteral seperti NGT (nasogastric tube) atau PEG (percutaneous endoscopic gastrostomy) dipilih sesuai durasi kebutuhan. Formula enteral harus disesuaikan berdasarkan komorbid—misalnya formula renal, diabetes, atau tinggi protein untuk risiko sarkopenia. NE terbukti menjaga status nutrisi, mencegah penurunan berat badan progresif, dan menurunkan risiko dekubitus serta infeksi. Namun, keputusan harus mempertimbangkan kualitas hidup, preferensi keluarga, dan prognosis, sehingga perlu pendekatan multidisiplin dan komunikasi etis yang baik.
  • Edukasi caregiver untuk keamanan pemberian makanan dan kepatuhan Keberhasilan intervensi nutrisi sangat bergantung pada peran caregiver, terutama pada lansia dengan keterbatasan fisik atau kognitif. Edukasi mencakup cara menyiapkan makanan padat gizi, teknik pemberian makan yang aman pada pasien disfagia, pentingnya kebersihan mulut sebelum makan, serta cara mengenali tanda bahaya seperti tersedak atau batuk saat makan. Caregiver juga perlu dilatih mengenai pengaturan jadwal makan, pemilihan makanan tinggi protein murah (telur, ikan, kacang-kacangan), serta penggunaan suplemen secara benar. Pelatihan ini terbukti meningkatkan adherence rencana nutrisi hingga >80% dan menurunkan risiko readmisi rumah sakit. Pendekatan edukasi harus sederhana, praktis, dan disertai contoh visual atau demonstrasi langsung.
  • Monitoring pascarawat inap untuk mencegah kekambuhan malnutrisi Setelah keluar dari rumah sakit, banyak lansia mengalami penurunan asupan akibat kelelahan, depresi pascarawat inap, atau perubahan obat. Monitoring nutrisi dalam 1–2 minggu pertama sangat penting untuk mencegah kekambuhan malnutrisi. Evaluasi meliputi penimbangan berat badan, asupan harian, kondisi mulut, fungsi menelan, dan kepatuhan terhadap ONS atau diet modifikasi. Studi menunjukkan bahwa follow-up nutrisi intensif dapat menurunkan risiko rehospitalisasi hingga 25–30%. Intervensi berbasis telemedicine atau kunjungan home care juga terbukti efektif, terutama bagi lansia dengan mobilitas terbatas. Monitoring yang baik memberikan kesempatan deteksi dini dan penyesuaian cepat terhadap rencana makan yang tidak berjalan.

9. Diskusi.

Status gizi, kesehatan mulut, dan fungsi fisik pada lansia saling terkait secara erat dan membentuk suatu lingkaran masalah yang saling memperburuk satu sama lain. Malnutrisi pada lansia dilaporkan memiliki prevalensi 22–46% pada populasi rawat inap dan sekitar 10–20% pada lansia komunitas (Kaur et al., 2019). Kekurangan energi dan protein menurunkan massa otot, memicu sarkopenia, serta meningkatkan risiko frailty. Frailty sendiri meningkatkan risiko jatuh, imobilitas, dan rawat inap berulang. Dalam studi longitudinal oleh Grande de França & Neto (2025), lansia dengan asupan protein <0,8 g/kg/hari menunjukkan penurunan kekuatan genggam 1,5 kali lebih cepat dibanding kelompok dengan asupan optimal. Temuan ini menegaskan bahwa defisit nutrisi memainkan peran sentral dalam mempercepat penurunan fungsi.

Kesehatan mulut merupakan faktor kritis yang sering diabaikan dalam manajemen nutrisi lansia. Bukti terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 60% lansia memiliki penyakit periodontal, 45% mengalami xerostomia, dan sekitar 30% menggunakan gigi tiruan yang tidak pas atau longgar (Chan et al., 2023). Gangguan tersebut menurunkan efisiensi mengunyah hingga 39% dan membuat lansia cenderung memilih makanan lunak yang miskin protein, serat, dan mikronutrien. Penelitian Dent J (Basel) tahun 2023 melaporkan bahwa lansia dengan kemampuan kunyah buruk memiliki risiko malnutrisi 2,7 kali lebih tinggi dibanding mereka yang memiliki fungsi oral normal. Sebaliknya, malnutrisi memperburuk kondisi imunologis dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi periodontal, menciptakan hubungan dua arah yang sulit diputus tanpa intervensi menyeluruh.

Pendekatan Asesmen Geriatri Komprehensif (AGK) terbukti memberikan kerangka yang efisien untuk memetakan hubungan multidimensional tersebut. Data kasus Park et al. (2025) menunjukkan bahwa intervensi nutrisi berbasis AGK yang melibatkan dokter geriatri, ahli gizi, terapis wicara, dan perawat gigi berhasil meningkatkan status gizi (kenaikan 1,2 kg berat badan dalam 6 minggu), meningkatkan skor ADL, dan memperbaiki fungsi kunyah. Secara luas, meta-analisis dari Clinical Nutrition Research melaporkan bahwa program AGK dapat menurunkan rerata lama rawat inap 1,5–3 hari dan mengurangi mortalitas hingga 22% pada populasi lansia frail. Implementasi AGK memungkinkan skrining dini terhadap disfagia, sarkopenia, depresi, dan kognitif rendah—faktor yang sering menjadi akar malnutrisi.

Pengembangan pangan geriatri menjadi bidang yang menjanjikan untuk meningkatkan kualitas hidup dan keadekuatan nutrisi. Pangan geriatri modern kini mengarah pada makanan dengan modifikasi tekstur IDDSI, tinggi protein (≥20 g per porsi), difortifikasi vitamin D, B12, kalsium, dan mengandung komponen fungsional seperti peptida bioaktif untuk massa otot. Studi Kaur et al. (2019) menunjukkan bahwa pemberian pangan geriatri padat nutrisi dapat meningkatkan asupan energi harian sebesar 18% dan peningkatan albumin sebesar 0,3 g/dL dalam 8 minggu. Selain itu, inovasi pangan berbasis kultur lokal (contoh: bubur protein tinggi, lauk lembut, susu fermentasi rendah laktosa) memungkinkan lansia lebih mudah menerima dan mematuhi intervensi nutrisi. Dengan menggabungkan AGK, rehabilitasi kesehatan mulut, dan pangan geriatri berbasis bukti, intervensi nutrisi lansia dapat dilakukan lebih efektif, terukur, dan berkelanjutan.

10. Kesimpulan

Malnutrisi pada lansia adalah masalah multifaktorial yang berkaitan dengan proses penuaan, gangguan mulut, penyakit kronis, dan penurunan fungsi. Pendekatan nutrisi lansia perlu mengintegrasikan manajemen kesehatan mulut dan asesmen geriatri komprehensif. Intervensi nutrisi yang terpersonalisasi terbukti meningkatkan fungsi, kualitas hidup, dan menurunkan risiko hospitalisasi.

11. Saran

  1. Lakukan skrining nutrisi rutin pada semua lansia menggunakan MNA, SGA, dan antropometri.
  2. Integrasikan layanan kesehatan gigi-mulut dalam program perawatan lansia.
  3. Terapkan rencana nutrisi berbasis AGK di rumah sakit, puskesmas, dan layanan home care.
  4. Tingkatkan asupan protein dan mikronutrien untuk mencegah sarkopenia.
  5. Kembangkan produk pangan geriatri dengan standar ilmiah yang jelas.
  6. Perkuat pelatihan caregiver terkait pemberian makan aman dan perawatan mulut.
  7. Tingkatkan monitoring pascarawat inap untuk mencegah malnutrisi berulang.
  8. Dorong kolaborasi multidisiplin (dokter, ahli gizi, perawat gigi, terapis wicara).
  9. Perluas riset nutrisi fungsional terkait kognisi dan ketahanan fisik.
  10. Dukung kebijakan publik untuk akses layanan gizi dan kesehatan mulut yang lebih baik bagi lansia.

Daftar Pustaka (Gaya AMA)

  1. Kaur D, Rasane P, Singh J, et al. Nutritional Interventions for Elderly and Considerations for the Development of Geriatric Foods. Curr Aging Sci. 2019;12(1):15-27. doi:10.2174/1874609812666190521110548
  2. Chan AKY, Tsang YC, Jiang CM, et al. Diet, Nutrition, and Oral Health in Older Adults: A Review of the Literature. Dent J (Basel). 2023;11(9):222. doi:10.3390/dj11090222
  3. Pirlich M, Lochs H. Nutrition in the Elderly. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2001;15(6):869-884. doi:10.1053/bega.2001.0246
  4. Park D, Shin AR, Park Y. Nutrition Intervention for Older Patients Based on Comprehensive Geriatric Assessment: A Case Report. Clin Nutr Res. 2025;14(2):91-99. doi:10.7762/cnr.2025.14.2.91
  5. Grande de França N, Valentini Neto J. Nutrition for Healthy Longevity. J Nutr Health Aging. 2025;29(10):100691. doi:10.1016/j.jnha.2025.100691
  6. Ju et al. Analisis parameter AGK dan status nutrisi (dikutip dalam Park et al., 2025).
  7. Survei praktik AGK Jepang terkait sarkopenia (dikutip dalam Park et al., 2025).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *