Self-Harm & Ideasi Bunuh Diri pada Remaja: Tinjauan Klinis dan Pendekatan Penanganan Modern
Audi Yudhasmara¹, Widodo Judarwanto¹
¹Departemen Pediatri, RSIA Bunda Jakarta, Indonesia
Abstrak
Self-harm dan ideasi bunuh diri pada remaja merupakan masalah kesehatan mental yang semakin meningkat secara global dan sering kali tidak terdeteksi hingga terlambat. Kondisi ini melibatkan perilaku menyakiti diri secara sadar tanpa niat langsung mengakhiri hidup, maupun pemikiran berulang tentang bunuh diri yang dapat berkembang menjadi tindakan fatal. Faktor biologis, psikososial, dan lingkungan berperan kompleks dalam memicu kedua kondisi tersebut.
Artikel ini membahas epidemiologi terkini, definisi klinis, faktor risiko, gejala, serta pendekatan komprehensif dalam penanganan dan pencegahan. Pemahaman yang tepat sangat penting bagi orang tua, tenaga kesehatan, dan pendidik agar dapat mengenali tanda awal serta melakukan intervensi dini untuk mencegah terjadinya konsekuensi jangka panjang atau kematian.
Pendahuluan
Self-harm dan ideasi bunuh diri pada remaja kini menjadi salah satu isu kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian serius, terutama di tengah perubahan sosial, tekanan akademik, dan paparan media digital. Masa remaja merupakan periode kritis dengan perubahan emosional, hormonal, dan sosial yang meningkatkan kerentanan terhadap gangguan kesehatan mental. Ketidakmampuan mengelola stres, tekanan pergaulan, serta masalah keluarga sering menjadi pemicu utama munculnya perilaku menyakiti diri.
Selain itu, stigma terhadap kesehatan mental masih menjadi penghalang besar bagi remaja untuk mencari bantuan. Banyak remaja menyembunyikan gejala karena takut dihakimi atau tidak dipercaya oleh orang dewasa. Kondisi ini menyebabkan self-harm dan ideasi bunuh diri kerap terdiagnosis terlambat, padahal intervensi dini terbukti mampu menurunkan risiko tindakan fatal secara signifikan.
Epidemiologi
Secara global, WHO melaporkan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua pada remaja usia 15–19 tahun. Prevalensi self-harm dilaporkan terus meningkat dalam satu dekade terakhir, terutama pada remaja perempuan. Sekitar 17–20% remaja melaporkan pernah melakukan self-harm setidaknya sekali, dan lebih dari 60% kasus tidak pernah terdeteksi oleh keluarga atau tenaga kesehatan.
Di Indonesia, data RISKESDAS menunjukkan peningkatan keluhan depresi dan kecemasan pada kelompok usia 10–19 tahun. Meskipun angka resmi self-harm dan ideasi bunuh diri belum terdokumentasi secara komprehensif, laporan klinik pediatri dan psikiatri menunjukkan tren serupa dengan negara lain, terutama pada remaja yang mengalami kekerasan, tekanan akademik, dan paparan cyberbullying.
Definisi Klinis
Self-harm (Non-Suicidal Self-Injury / NSSI) didefinisikan sebagai tindakan sengaja menyakiti tubuh sendiri tanpa niat langsung untuk mati, seperti menggores kulit, membakar diri, atau memukul diri. Perilaku ini sering kali menjadi cara maladaptif untuk mengatasi stres emosional yang intens.
Ideasi bunuh diri adalah munculnya pemikiran mengenai kematian, keinginan untuk mati, atau merencanakan tindakan bunuh diri. Ideasi dapat bersifat pasif (“lebih baik saya tidak ada”) maupun aktif (“saya ingin bunuh diri”).
Self-harm dan ideasi bunuh diri dapat berdiri sendiri atau saling terkait. Banyak remaja memulai dengan NSSI yang kemudian berkembang menjadi tindakan dengan risiko tinggi. Oleh karena itu, keduanya dianggap sebagai spektrum risiko bunuh diri yang memerlukan evaluasi klinis menyeluruh.
Penyebab
Penyebab self-harm dan ideasi bunuh diri bersifat multifaktorial. Faktor biologis seperti disregulasi serotonin, riwayat keluarga dengan gangguan afektif, dan kondisi neuropsikiatri seperti ADHD atau depresi berat dapat meningkatkan risiko secara signifikan.
Faktor psikologis juga memainkan peran penting, termasuk rendahnya harga diri, pengalaman trauma masa kecil, kekerasan fisik/emosional, atau pola pengasuhan yang otoriter. Remaja sering menggunakan self-harm sebagai mekanisme coping untuk mengatasi emosi negatif yang sulit diungkapkan, seperti rasa bersalah, marah, atau kesepian ekstrem.
Faktor sosial dan lingkungan seperti bullying, cyberbullying, tekanan akademik, konflik keluarga, serta paparan konten self-harm di media sosial dapat menjadi pemicu kuat. Kombinasi faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko secara eksponensial pada remaja yang rentan.
Tabel Tanda dan Gejala Self-Harm & Ideasi Bunuh Diri
| Kategori | Tanda/Gejala | Penjelasan Klinis |
|---|---|---|
| Fisik | Luka gores, memar, bekas sayatan, luka bakar | Biasanya ditemukan di lengan, paha, atau area tubuh yang mudah disembunyikan. |
| Emosional | Mudah marah, menarik diri, perubahan mood ekstrem | Emosi yang tidak stabil adalah indikator stres internal yang berat. |
| Kognitif | Pikiran tentang kematian, merasa tidak berharga, putus asa | Menunjukkan gangguan dalam persepsi diri dan masa depan. |
| Perilaku | Menyendiri, memakai pakaian panjang di cuaca panas, perubahan kebiasaan | Tindakan untuk menyembunyikan luka atau menghindari interaksi sosial. |
Gejala-gejala ini sering berkembang secara bertahap. Pada tahap awal, remaja mungkin hanya menunjukkan tanda emosional atau perilaku yang tidak spesifik, seperti menarik diri atau sering menyendiri. Orang tua dan guru perlu peka terhadap perubahan kecil ini karena dapat menjadi indikator awal distress psikologis.
Seiring waktu, perilaku dapat berkembang menjadi tindakan self-harm berulang. Pada fase lebih lanjut, muncul ideasi bunuh diri dengan perencanaan. Identifikasi dini semua tanda ini sangat krusial untuk mencegah terjadinya tindakan fatal.
Penanganan
- Evaluasi Klinis Komprehensif
Meliputi asesmen risiko bunuh diri, gangguan mood, trauma, dan kondisi medis terkait. - Intervensi Psikoterapi
Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Dialectical Behavior Therapy (DBT), dan terapi keluarga terbukti efektif pada remaja. - Farmakoterapi
Antidepresan SSRI dapat diberikan pada depresi berat, kecemasan, atau OCD dengan pemantauan ketat. - Pendekatan Keluarga
Edukasi dan pelibatan orang tua sangat penting dalam mendukung perubahan perilaku dan meningkatkan keamanan. - Rencana Keamanan (Safety Plan)
Termasuk identifikasi pemicu, strategi coping sehat, kontak darurat, dan pengawasan ketat terhadap benda berbahaya.
Pencegahan
- Pendidikan Kesehatan Mental di Sekolah
Program literasi emosional dapat mengurangi stigma dan meningkatkan kemampuan coping. - Deteksi Dini oleh Guru & Orang Tua
Pelatihan untuk mengenali tanda awal distress mental. - Lingkungan Digital Aman
Mengurangi paparan konten self-harm dan cyberbullying. - Penguatan Ketahanan Psikologis (Resilience)
Melalui aktivitas positif, dukungan sebaya, dan komunikasi keluarga.
Kesimpulan
Self-harm dan ideasi bunuh diri pada remaja merupakan masalah kompleks dengan faktor biologis, psikologis, dan sosial yang saling berinteraksi. Deteksi dini dan intervensi yang tepat sangat penting untuk mencegah perkembangan menjadi tindakan fatal. Pendekatan multidisipliner yang melibatkan tenaga kesehatan, keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial menjadi strategi paling efektif dalam penanganan dan pencegahan jangka panjang.
Daftar Pustaka
- World Health Organization. Suicide worldwide in 2019: global health estimates. WHO; 2021.
- Hawton K, Saunders KE, O’Connor RC. Self-harm and suicide in adolescents. Lancet. 2012;379(9834):2373–82.
- Muehlenkamp JJ, Claes L, et al. International prevalence of adolescent non-suicidal self-injury. Child Adolesc Psychiatry Ment Health. 2012.
- Nock MK. Self-injury. Annu Rev Clin Psychol. 2010;6:339–63.
- Brent DA, Mann JJ. Suicide risk and protective factors in adolescents. Am J Psychiatry. 2006.
- Glenn CR, Klonsky ED. Nonsuicidal self-injury: new directions. Clin Psychol. 2013.
- Plener PL et al. Non-suicidal self-injury in adolescents. Dtsch Arztebl Int. 2015.
- RISKESDAS. Laporan Nasional. Kemenkes RI; 2018 & 2023.
- Ougrin D, Tranah T, et al. Therapeutic interventions for self-harm in children and adolescents. Cochrane Database Syst Rev. 2015.







Leave a Reply