DOKTER AIRLANGGA

SMART PEOPLE, SMART HEALTH

Sinusitis, Infeksi Berulang, dan Alergi Makanan: Tinjauan Klinis dan Imunopatofisiologi

Sinusitis, Infeksi Berulang, dan Alergi Makanan: Tinjauan Klinis dan Imunopatofisiologi

Yudhasmara Sandiaz; Widodo Judarwanto
Rumah Sakit Bunda Jakarta

Abstrak

Sinusitis—baik akut maupun kronik—sering disebabkan oleh kombinasi faktor infeksi, obstruksi anatomis, dan proses inflamasi imunologi. Infeksi berulang pada rongga sinus (recurrent rhinosinusitis) berdampak signifikan pada kualitas hidup, pemakaian antibiotik, dan risiko komplikasi. Peran alergi (termasuk alergi makanan) terhadap perkembangan atau perpetuasi sinusitis masih kontroversial: beberapa studi menunjukkan korelasi antara sensitasi makanan dan penyakit sinonasal yang resisten terapi, sedangkan studi lain menunjukkan bahwa food-specific IgE bukan penentu tunggal patogenesis polip atau CRS. Pemahaman immunopatofisiologi (disfungsi mukosiliar, jenis respons imun — Th2 eosinofilik vs fenotip neutrofilik, biofilm) membantu merangka strategi manajemen yang mencakup terapi medis (irigasi saline, intranasal steroid, antibiotik terpilih), manajemen alergi, dan intervensi bedah pada kasus refrakter atau komplikasi. Studi observasional dan intervensi kecil mendukung pertimbangan eliminasi makanan pada subset pasien CRS yang resisten terhadap terapi, tetapi bukti belum cukup kuat untuk rekomendasi universal.

Pendahuluan

Sinusitis mencakup spektrum penyakit dari acute rhinosinusitis (ARS) hingga chronic rhinosinusitis (CRS). Infeksi berulang didefinisikan sebagai ≥4 episode ARS per tahun atau CRS yang berulang setelah terapi. Mekanisme patogenik melibatkan interaksi antara patogen (virus/bakteri), kondisi anatomi yang menghambat drainase, dan respons imun lokal yang dapat dipengaruhi oleh atopi (termasuk alergi inhalan dan, pada beberapa pasien, alergi makanan). Peran alergi makanan dalam sinusitis masih diperdebatkan; beberapa studi melaporkan prevalensi sensitasi makanan lebih tinggi pada pasien CRS yang sulit diobati, sementara analisis lain tidak menemukan bukti bahwa food-specific IgE menyumbang langsung pada perkembangan polip.

Infeksi berulang pada anak dan dewasa menimbulkan beban perawatan kesehatan yang besar — kunjungan klinik, konsumsi antibiotik, absensi kerja/sekolah, serta kemungkinan pembedahan. Pada anak, adenoid hipertrofi berperan sebagai reservoir mikroba dan faktor utama predisposisi infeksi berulang; intervensi adenoidectomy seringkali mengurangi frekuensi infeksi. Pendekatan klinis harus bertingkat: identifikasi dan pengelolaan faktor predisposisi (alergi, anatomi, imunodefisiensi), terapi medis intensif, dan rujukan ke ENT bila gagal.

Epidemiologi

  • Prevalensi ARS dan CRS bervariasi menurut definisi dan metode survei. CRS pada populasi dewasa diperkirakan berkisar 5–12% tergantung kriteria (self-report vs pemeriksaan/endoskopi/CT). Insiden ARS akut meningkat pada musim dingin karena kenaikan infeksi virus upper respiratory tract.
  • Insiden infeksi berulang (≥4 episode/tahun) lebih umum pada anak dibanding dewasa, dengan adenoid hipertrofi dan paparan lingkungan (asap rokok, polusi) sebagai faktor risiko. Studi kohort dan registri menunjukkan bahwa sebagian anak dengan food allergy atau atopi dapat memiliki insiden infeksi saluran napas berulang yang lebih tinggi dibanding populasi kontrol. Namun hubungan kausal langsung antara alergi makanan dan sinusitis masih belum pasti.
  • Sensitisasi alergi (atopi) umum ditemukan pada pasien CRS — prevalensi atopi pada pasien CRS dilaporkan variatif; beberapa laporan menyebut >50% pasien CRS menunjukkan bukti alergi inhalan. Prevalensi sensitasi makanan pada CRS resisten juga dilaporkan cukup sering di beberapa studi kasus-kontrol, tetapi perbedaan signifikan tidak selalu konsisten antar populasi. Oleh karena itu, evaluasi alergi sebaiknya diarahkan oleh konteks klinis (riwayat alergi jelas, pola gejala) dan bukan sebagai pemeriksaan skrining universal untuk semua pasien sinusitis.

Definisi Klinis 

  • Acute rhinosinusitis (ARS): gejala ≤4 minggu. Kriteria klinis untuk kemungkinan ABRS mencakup perpanjangan gejala >10 hari tanpa perbaikan, onset berat (demam tinggi ≥39°C dan keluarnya cairan purulen >3 hari), atau worsening course (perbaikan singkat lalu memburuk). Pedoman EPOS/IDSA/AAP merekomendasikan penggunaan kriteria ini untuk membatasi penggunaan antibiotik.
  • Recurrent ARS (RARS): ≥4 episode ARS per tahun dengan interval bebas gejala antara episode. Chronic rhinosinusitis (CRS): gejala ≥12 minggu dengan minimal 2 gejala (salah satu: nasal obstruction atau nasal discharge) ± facial pain/pressure ± hyposmia, dan bila perlu konfirmasi endoskopi/CT. Pada anak, presentasi gejala bisa tidak khas (batuk malam, nasal discharge), sehingga durasi/pola gejala menjadi kunci diagnosis.
  • Allergic rhinosinusitis / sinonasal disease terkait alergi: tidak ada definisi tunggal universal untuk ‘allergic sinusitis’; umumnya merujuk pada sinusitis yang dipengaruhi/ diperburuk oleh mekanisme alergi (rhinits atopik) sehingga menyebabkan obstruksi ostium dan predisposisi infeksi atau kronifikasi. Evaluasi alergi inhalan lebih sering relevan secara klinis daripada pengujian makanan kecuali terdapat riwayat reaksi terkait makanan.

Penyebab

  • Infeksi (virus → bakteri sekunder): sebagian besar ARS dimulai sebagai URTI virus; bakteri sekunder (Streptococcus pneumoniae, non-typeable Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis pada anak) dapat menyebabkan ABRS. Pada CRS, flora sinusal biasa lebih kompleks dan sering melibatkan biofilm.
  • Alergi dan atopi: alergi inhalan (pollen, debu rumah, jamur) menyebabkan inflamasi mukosa, edema, dan obstruksi ostium yang memfasilitasi stasis mukus dan infeksi. Peran alergi makanan kurang konsisten — beberapa studi menemukan korelasi antara sensitasi makanan dan CRS resisten, sementara studi lain menilai bahwa food-specific IgE tidak menjelaskan mekanisme poliposis atau CRS pada mayoritas pasien. Oleh karena itu, keterkaitan food allergy–sinusitis kemungkinan ada pada subset pasien atopik atau pada fenotip khusus.
  • Faktor anatomis dan mukosiliar/sistemik: deviasi septum, concha bullosa, adenoid hipertrofi (anak), kelainan mukosilier (CF, primary ciliary dyskinesia), imunodefisiensi, serta faktor lingkungan (asap rokok, polusi) meningkatkan risiko infeksi berulang dan kronifikasi. Pada anak, adenoid sering menjadi reservoir bakteri yang memicu infeksi rekuren.

Imunopatofisiologi

  • Respon epitel mukosa adalah garis pertahanan pertama: insult virus/allergen → aktivasi PRR (pattern recognition receptors) → pelepasan sitokin pro-inflamasi → peningkatan mukus, edema, dan disfungsi mukosilier. Stasis mukus dan obstruksi ostium memfasilitasi kolonisasi bakteri dan pembentukan biofilm yang menyulitkan eradikasi.
  • CRS menunjukkan heterogenitas imun: fenotip Th2 eosinofilik (sering pada CRSwNP, meningkatkan IL-4/IL-5/IL-13 dan IgE lokal), fenotip neutrofilik (lebih sering dilaporkan di beberapa populasi Asia), serta peranan B cell/plasma cell di mukosa sinonasal. Respon alergi (inhalan) dapat memperparah inflamasi lokal; mekanisme di mana food allergy mempengaruhi mukosa sinonasal belum tuntas dijelaskan dan kemungkinan melibatkan sistemik atopi atau reaksi non-IgE pada subkelompok pasien.
  • Biofilm, perubahan mikrobiota lokal, dan disregulasi imun lokal berkontribusi pada refraktori terhadap terapi antibakteri biasa dan menjadi target strategi terapeutik alternatif (terapi anti-inflamasi jangka panjang, irrigasi, terapi biologik pada CRSwNP). Pada subset pasien yang mempunyai sensibilisasi makanan dan CRS yang medikoresisten, trial eliminasi makanan pada studi kecil menunjukkan perbaikan pada beberapa kasus—namun bukti RCT masih minim.

Tanda & Gejala 

Gejala utamaAnakDewasa
Nasal discharge (anterior/posterior)Sering (+++), batuk malamSering (+++)
Nasal obstruction+++++
Batuk (terutama malam)++++
Facial pain/pressure+/- (sulit menilai)+++
Hyposmia/anosmia+++–+++ (CRS/CRSwNP)
Demam+/- (lebih pada ABRS akut)+/-
Komplikasi orbit/intrakranialJarang tetapi seriusJarang tetapi serius

Anak sering menunjukkan batuk dan nasal discharge berlanjut pasca-URTI sebagai tanda infeksi sinus. Nyeri wajah sering tidak diungkapkan jelas, sehingga durasi dan pola (perbaikan lalu memburuk/persisten) lebih diagnostik. Adenoid sering memodulasi perjalanan infeksi berulang.

Obstruksi hidung, tekanan wajah, dan hilangnya penciuman merupakan ciri khas CRS pada dewasa. CRSwNP menonjolkan anosmia dan obstruksi kronis. Evaluasi objektif (endoskopi nasal, CT sinus) membantu menilai derajat penyakit.

Tanda bahaya termasuk penurunan penglihatan, diplopia, edema/periorbital erythema berat, penurunan kesadaran, meningismus — semua mengindikasikan komplikasi orbital atau intracranial yang memerlukan rujukan IGD/ENT segera.

Diagnosis

  • Klinis: riwayat durasi, pola (persistent >10 hari, severe onset, worsening), pemeriksaan fisik, dan endoskopi nasal bila tersedia.
  • Imaging: CT sinus non-kontras untuk evaluasi anatomi, perencanaan operasi, atau bila dicurigai komplikasi; rontgen sinus tidak disarankan untuk ABRS rutin.
  • Allergy testing: uji alergi inhalan (skin prick / specific IgE) dipertimbangkan bila riwayat alergi konsisten. Pengujian makanan sebaiknya diarahkan hanya jika riwayat makanan memicu gejala sistemik atau bila ada konsistensi klinis; pemeriksaan makanan sebagai skrining rutin tidak direkomendasikan.
  • Mikrobiologi: kultur sinus (aspirat endoskopik) bila gagal terapi atau sebelum pembedahan/komplikasi; kultur darah/abses bila ada tanda sistemik atau abses

Diagnosis Banding

  • Viral upper respiratory infection yang berkepanjangan
  • Alergi rhinitis/vasomotor rhinitis
  • Adenoiditis (pada anak)
  • Odontogenic sinusitis (infeksi gigi maksila)
  • Neuralgias / primary headache disorders (nyeri wajah tanpa discharge)
  • Neoplasma sinonasal (perlu dicurigai bila unilateral, perdarahan, massa).

Komplikasi

  • Orbital: periorbital cellulitis, subperiosteal/ orbital abses, trombosis sinus kavernosus.
  • Intrakranial: meningitis, epidural/subdural abses, cerebritis.
  • Kronik: bronkial komorbiditas (eksaserbasi asma), penurunan kualitas hidup, resistensi antibiotik akibat penggunaan berulang. Semua komplikasi ini memerlukan penilaian multidisipliner dan manajemen agresif.

Penanganan

  1. Terapi suportif awal (ARS ringan–sedang): saline nasal irrigation, intranasal steroid (terutama jika komponen inflamasi), analgesik/antipiretik, dan observasi; kebanyakan ARS viral membaik tanpa antibiotik.
  2. Antibiotik selektif: untuk ABRS bila memenuhi kriteria (persistence >10 hari, severe onset, worsening). Amoksisilin-klavulanat sering menjadi pilihan empiris pada dewasa; sesuaikan bila alergi atau faktor risiko resistensi.
  3. Manajemen alergi: bila ada bukti atopi inhalan, kendalikan allergic rhinitis (INCS, antihistamin, immunotherapy bila indikasi) — pengendalian alergi dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi sinonasal. Pengujian makanan dan eliminasi makanan hanya untuk pasien dengan riwayat reaksi makanan yang jelas atau pada kasus CRS yang medikoresisten di mana sensitasi makanan ditemukan dan percobaan eliminasi dipertimbangkan dengan pengawasan profesional. Bukti intervensi eliminasi makanan menunjukkan perbaikan pada beberapa studi kasus/kecil, tetapi belum cukup kuat untuk rekomendasi universal.
  4. Terapi CRS kronik: irrigasi saline jangka panjang, intranasal steroid, short course oral steroid pada eksaserbasi berat (terutama CRSwNP), terapi biologik (anti-IL5, anti-IL4Rα) pada CRSwNP eosinofilik yang tidak merespons pengobatan standar sesuai kriteria.
  5. Intervensi bedah: untuk kasus refrakter, anatomi yang menghambat drainase, atau untuk drainase komplikasi (lihat indikasi operasi di bawah). Sebelum FESS, evaluasi adenoid pada anak; adenoidectomy dapat mengurangi kejadian infeksi berulang pada subkelompok anak.

Indikasi Operasi

  • Komplikasi akut yang mengancam: orbital abses yang memerlukan drainase, trombosis sinus kavernosus, atau abses intracranial.
  • CRS refrakter: gejala persisten ≥12 minggu meskipun terapi medis optimal (INCS, irrigasi, pengelolaan komorbid).
  • Nasal polyposis yang menyebabkan obstruksi berat atau anosmia menetap dan gagal terapi medis; pembedahan fungsional endoskopik sinus (FESS) ± polypektomi dipertimbangkan.
  • Recurrent acute rhinosinusitis (≥4 episode/tahun) yang tidak terkontrol dengan manajemen konservatif dan bila koreksi anatomi (septoplasty, FESS) diperkirakan membantu.
  • Penyakit sinonasal terkait fokus spesifik: mucocoele besar, neoplasma tersangka, atau odontogenic sinusitis yang memerlukan koreksi fokus gigi/anatomis. Pada anak, adenoidectomy ± FESS bila adenoid dianggap reservoir infeksi.

Pencegahan

  1. Kontrol atopi & komorbiditas: diagnosis dan terapi allergic rhinitis yang tepat (INCS, immunotherapy bila indikasi) untuk mengurangi inflamasi mukosa kronik.
  2. Higiene nasal dan irigasi saline rutin pada pasien dengan riwayat berulang atau CRS untuk membantu clearing mukus dan mengurangi mikroorganisme.
  3. Pengurangan paparan risiko lingkungan: berhenti merokok, kurangi paparan polusi dalam ruangan, kebersihan gigi untuk mencegah odontogenic sinusitis.
  4. Pertimbangan diet & eliminasi terarah pada kasus terpilih: pada pasien CRS medikoresisten dengan bukti sensitasi makanan klinis (riwayat konsisten atau uji yang relevan), percobaan eliminasi makanan terkontrol oleh ahli alergi dapat dipertimbangkan untuk dilakukan oral food challenge bila ada riwayat alerbi ; bukti masih terbatas dan tidak untuk skrining umum.

Point of View 

Sinusitis dan infeksi berulang adalah kondisi multifaktorial. Atopi (termasuk alergi inhalan) jelas memainkan peranan pada sebagian besar pasien CRS; hubungan dengan alergi makanan ada pada subset pasien namun bukti kausal masih terbatas. Oleh karena itu pendekatan klinis pragmatis — identifikasi faktor predisposisi, terapi medis terarah, pengendalian alergi inhalan, dan intervensi bedah bila diperlukan — tetap menjadi landasan. Evaluasi alergi makanan sebaiknya bersifat selektif dan didasari riwayat klinis, bukan pemeriksaan luas tanpa indikasi.

Daftar Pustaka 

  • Lill C, Grevers G, Borg zu Putlitz T, et al. Milk allergy is frequent in patients with chronic polypoid sinusitis and recurrent disease. [Study]. 2011. PubMed. Accessed via PubMed.
  • Woicka-Kolejwa K, et al. Food allergy is associated with recurrent respiratory tract infections during childhood. Postepy Dermatol Alergol (Online). 2016;Retrieved from PMC.
  • Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020 (EPOS2020). Rhinology Supplement. 2020.
  • Kennedy JL, Borish L, et al. Chronic sinusitis pathophysiology: the role of allergy. Immunol Allergy Clin North Am. 2013; (review). Available via PMC.
  • Phipatanakul W. Food allergy and its impact on pediatric rhinitis and asthma. Am J Rhinol Allergy. 2011. (discussion of food allergy in airway disease).
  • Banerji S, et al. Food elimination in the management of refractory chronic rhinosinusitis: case series and review. Am J Otolaryngol. 2020; (SAGE publication).
  • Belcher R, et al. The role of the adenoids in pediatric chronic rhinosinusitis. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2019; (review). PMC.
  • Wise SK, et al. International Consensus Statement on Allergy and Rhinology: Allergic Rhinitis. Int Forum Allergy Rhinol. 2023; (consensus).
  • Addissouky TA, et al. Recent advances in allergic rhinosinusitis management. Eur J Otolaryngol Head Neck Surg. 2025; (review).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *