DOKTER AIRLANGGA

SMART PEOPLE, SMART HEALTH

Malnutrisi pada Lansia: Ancaman Tersembunyi terhadap Ketahanan Fisik dan Imunitas

Abstrak

Malnutrisi merupakan salah satu masalah serius dalam perawatan geriatri yang sering tidak terdiagnosis. Lansia rentan mengalami kekurangan gizi akibat berbagai faktor seperti penurunan nafsu makan, gangguan oral, kesulitan menelan (disfagia), keterbatasan ekonomi, atau penyakit kronis. Malnutrisi berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh, lambatnya penyembuhan luka, kerentanan terhadap infeksi, hingga peningkatan risiko kematian. Artikel ini menguraikan penyebab, tanda-tanda klinis, strategi penanganan, dan upaya pencegahan malnutrisi pada kelompok usia lanjut.


Masalah gizi pada usia lanjut bukanlah sekadar urusan jumlah makan, tetapi terkait dengan kualitas hidup dan prognosis kesehatannya. Malnutrisi pada lansia terjadi saat kebutuhan energi, protein, dan mikronutrien tidak terpenuhi, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan tubuh untuk menjalankan fungsi normal. Seiring bertambahnya usia, terjadi perubahan fisiologis dan psikososial yang berkontribusi terhadap penurunan asupan makanan secara signifikan.

Lebih dari 30% lansia di fasilitas kesehatan mengalami malnutrisi dalam berbagai tingkat. Namun, gejalanya sering kali tidak dikenali hingga terjadi komplikasi seperti infeksi berulang, luka sulit sembuh, atau penurunan berat badan ekstrem. Oleh karena itu, penting untuk mengenali ciri-ciri malnutrisi sejak dini dan melakukan intervensi gizi terpadu untuk mengoptimalkan kualitas hidup lansia.


Penyebab

Faktor mekanis seperti gigi ompong, sisa akar gigi, atau penggunaan gigi palsu yang tidak pas menjadi penyebab utama berkurangnya kemampuan mengunyah. Gangguan menelan (disfagia) akibat stroke atau penyakit saraf juga menyebabkan rasa takut makan karena risiko tersedak. Ini menurunkan frekuensi dan volume asupan makan harian.

Selain itu, aspek psikososial turut memperparah malnutrisi. Lansia yang tinggal sendiri, kehilangan pasangan, mengalami depresi, atau menghadapi keterbatasan ekonomi, cenderung mengabaikan pola makan sehat. Mereka juga sering tidak sadar bahwa makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan harian tubuh.


Tanda dan Gejala 

  • Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas merupakan tanda utama malnutrisi. Lansia mungkin menyadari pakaian menjadi lebih longgar, namun menganggapnya biasa. Penurunan lebih dari 5% berat badan dalam 1 bulan atau lebih dari 10% dalam 6 bulan harus diwaspadai.
  • Kelemahan otot juga muncul secara perlahan. Lansia menjadi mudah lelah, tidak kuat berjalan jauh, atau kesulitan mengangkat benda ringan. Kondisi ini disebut sebagai sarcopenia, yaitu kehilangan massa dan kekuatan otot akibat kekurangan gizi, terutama protein.
  • Gejala lain adalah penurunan nafsu makan yang berlangsung lama. Lansia merasa cepat kenyang, tidak tertarik dengan makanan, bahkan enggan makan meski tersedia hidangan favorit. Ini dapat berasal dari gangguan indra pengecap, mulut kering, atau depresi ringan.
  • Munculnya luka yang sulit sembuh, seperti lecet di kulit yang tidak kunjung membaik, juga menjadi indikator kekurangan nutrisi. Zat gizi seperti protein, seng, dan vitamin C sangat penting dalam proses penyembuhan jaringan tubuh.
  • Infeksi berulang seperti flu, infeksi saluran kemih, atau batuk kronis juga bisa menjadi tanda. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah akibat kurangnya asupan energi dan mikronutrien, sehingga tubuh sulit melawan patogen.
  • Kulit menjadi kering, rambut menipis, dan kuku rapuh menandakan defisiensi vitamin dan mineral. Kulit lansia yang kekurangan cairan dan nutrisi lebih mudah lecet dan rentan terhadap tekanan luka (decubitus).
  • Lansia dengan malnutrisi juga cenderung mengalami gangguan suasana hati. Mereka tampak murung, tidak responsif, atau menarik diri dari aktivitas sosial. Kekurangan zat besi, vitamin B12, dan folat berdampak pada fungsi saraf dan psikologis.
  • Gejala terakhir adalah gangguan konsentrasi dan penurunan kognitif. Otak yang kekurangan glukosa dan nutrisi penting seperti omega-3, vitamin D, dan vitamin B kompleks menunjukkan kinerja yang menurun. Hal ini bisa mempercepat gejala demensia.

Penanganan

  • Penanganan dimulai dari skrining status gizi secara berkala dengan menggunakan alat seperti Mini Nutritional Assessment (MNA) atau Body Mass Index (BMI). Tenaga kesehatan harus memantau berat badan, lingkar lengan atas, dan asupan harian lansia secara teratur.
  • Langkah selanjutnya adalah menyesuaikan tekstur dan bentuk makanan agar mudah dikunyah dan ditelan. Diet lunak, makanan tinggi kalori dan protein, serta suplemen nutrisi oral sangat membantu pemenuhan kebutuhan energi harian.
  • Perlu dilakukan edukasi dan pelatihan keluarga atau caregiver untuk memahami pentingnya pemenuhan nutrisi. Keterlibatan keluarga menjadi faktor kunci karena lansia sering membutuhkan dorongan emosional dan bantuan teknis dalam menyiapkan makanan.
  • Jika perlu, dilakukan intervensi medis tambahan seperti pemberian multivitamin dan mineral, atau rujukan ke ahli gizi klinis. Untuk kasus berat, pemberian nutrisi enteral (melalui selang) dapat dipertimbangkan dalam kondisi hospitalisasi atau disfagia parah.

Pencegahan 

  • Pencegahan dimulai dari pengaturan jadwal makan yang teratur, dengan porsi kecil tapi sering (4–6 kali sehari). Makanan harus bervariasi, berwarna, dan menggugah selera agar menstimulasi nafsu makan.
  • Periksa kesehatan gigi dan mulut secara rutin sangat penting. Gigi palsu harus nyaman dipakai, dan masalah seperti gusi bengkak atau luka mulut harus segera diatasi. Lansia juga harus diajari cara mengunyah perlahan dan minum saat makan.
  • Libatkan lansia dalam aktivitas memasak atau memilih menu makanan. Ini memberikan rasa kendali dan kebahagiaan tersendiri yang dapat meningkatkan keinginan makan. Kebiasaan makan bersama keluarga atau teman juga mendukung psikologis mereka.
  • Program pemerintah seperti pemberian makanan tambahan (PMT) atau subsidi pangan bagi lansia kurang mampu perlu diperluas. Lansia tidak boleh dibebani urusan logistik pangan di usia senja. Kolaborasi dengan posyandu lansia dan layanan home care sangat membantu.

Saran

  • Pertama, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran bahwa malnutrisi bukan hanya terjadi pada balita, tetapi juga pada lansia. Setiap keluarga diharapkan aktif memantau berat badan dan nafsu makan orang tua mereka.
  • Kedua, pemerintah dan lembaga kesehatan perlu memperkuat program gizi lansia berbasis komunitas. Keterlibatan puskesmas, kader posyandu, dan masjid sangat efektif dalam menyampaikan edukasi gizi dan pembagian makanan sehat.
  • Ketiga, perlu digalakkan pendekatan spiritual yang menyentuh hati lansia untuk semangat menjaga kesehatan. Makan sebagai ibadah, menjaga tubuh sebagai amanah dari Allah, dan bersyukur melalui makanan yang bergizi adalah cara menyemangati lansia makan dengan niat yang baik.

Kesimpulan

Malnutrisi adalah ancaman nyata yang melemahkan ketahanan tubuh dan mempercepat penurunan fungsi lansia. Dengan deteksi dini, perbaikan pola makan, serta keterlibatan keluarga dan masyarakat, lansia bisa kembali hidup sehat dan mandiri. Komitmen bersama sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan gizi yang baik di usia senja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *