Batuk lama pada dewasa sering menjadi tantangan dalam dunia klinis, terutama bila berhubungan dengan alergi makanan. Kondisi ini kerap tidak terdeteksi karena gejalanya mirip dengan gangguan saluran napas lain. Artikel ini bertujuan membahas secara sistematis hubungan antara batuk lama dan alergi makanan pada dewasa, meliputi epidemiologi, patofisiologi, diagnosis berbasis oral food challenge (OFC), tanda gejala, dan penanganan yang sesuai. OFC dipandang sebagai standar baku emas diagnosis alergi makanan dibandingkan tes laboratorium yang memiliki keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas.
Batuk lama atau batuk kronis pada dewasa didefinisikan sebagai batuk yang berlangsung lebih dari delapan minggu. Faktor penyebabnya sangat beragam, salah satunya yang sering diabaikan adalah alergi makanan. Alergi makanan dapat mencetuskan reaksi imun yang mempengaruhi saluran napas dan menimbulkan batuk kronis.
Peningkatan prevalensi alergi makanan di masyarakat modern telah menambah kompleksitas diagnosis batuk kronis. Pemahaman yang kurang tentang kaitan ini sering menyebabkan pengobatan yang tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, penting untuk mengenali kontribusi alergi makanan sebagai salah satu penyebab batuk lama pada dewasa.
Epidemiologi
Prevalensi alergi makanan pada dewasa diperkirakan sekitar 3-4% di seluruh dunia, namun angka ini cenderung meningkat di negara maju. Studi menunjukkan bahwa 20-30% pasien batuk kronis memiliki keterlibatan alergi, termasuk alergi makanan.
Di Indonesia, data khusus mengenai batuk lama akibat alergi makanan pada dewasa masih terbatas. Namun, tren konsumsi makanan olahan dan peningkatan kesadaran terhadap alergi makanan turut mendukung kemungkinan peran alergi makanan dalam kasus batuk kronis.
Patofisiologi
Patofisiologi alergi makanan melibatkan aktivasi sel imun, khususnya sel mast dan basofil, yang melepaskan histamin dan mediator inflamasi lain saat terpapar alergen. Mediator ini dapat menyebabkan kontraksi otot polos, edema mukosa, dan peningkatan produksi mukus di saluran napas.
Selain saluran cerna, alergen makanan dapat merangsang sistem imun mukosa saluran napas melalui mekanisme gut-lung axis. Peradangan yang dimediasi sel Th2, interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13, menyebabkan hipereaktivitas bronkus.
Peradangan kronis akibat paparan alergen makanan menyebabkan sensitisasi saraf sensorik di saluran napas, memicu refleks batuk persisten. Reaksi ini dapat terjadi tanpa gejala gastrointestinal, sehingga sering luput dari dugaan.
Diagnosis
Diagnosis batuk lama akibat alergi makanan memerlukan pendekatan holistik. Riwayat konsumsi makanan dan pola batuk menjadi kunci awal. Seringkali batuk memburuk setelah konsumsi makanan tertentu, meski jarang disertai gejala kulit atau pencernaan.
Tes laboratorium seperti IgE spesifik dan skin prick test memiliki keterbatasan dalam mendeteksi alergi makanan yang berhubungan dengan batuk lama. Sensitivitas dan spesifisitasnya tidak selalu sesuai pada kasus ini.
Oral Food Challenge (OFC) merupakan standar baku emas dalam diagnosis alergi makanan. Pada batuk lama, OFC dilakukan dengan eliminasi makanan yang dicurigai selama 2-4 minggu, kemudian dilakukan provokasi bertahap untuk melihat reaksi batuk.
Monitoring respon batuk terhadap OFC lebih akurat dibandingkan tes laboratorium. Eliminasi makanan tertentu dan perbaikan gejala batuk setelah OFC memberikan bukti kuat adanya hubungan alergi makanan dengan batuk lama.
Penanganan
Penanganan utama adalah identifikasi dan eliminasi makanan penyebab berdasarkan hasil OFC. Proses eliminasi dilakukan secara bertahap dan dipantau ketat oleh tenaga medis.
Obat-obatan seperti antihistamin dan kortikosteroid oral dapat digunakan sementara untuk meredakan gejala batuk berat, tetapi bukan solusi jangka panjang.
Terapi edukasi pasien mengenai diet eliminasi, membaca label makanan, serta strategi pencegahan paparan alergen sangat penting untuk menghindari kekambuhan batuk kronis.
Kesimpulan
Batuk lama pada dewasa dapat berkaitan erat dengan alergi makanan, meski sering tidak terdeteksi. Mekanisme patofisiologi melibatkan aktivasi sel imun dan peradangan saluran napas. Diagnosis paling akurat adalah dengan OFC, bukan sekadar tes alergi laboratorium. Penanganan efektif memerlukan eliminasi alergen makanan yang spesifik dan edukasi pasien untuk pencegahan jangka panjang.
Daftar Pustaka
- Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy: Epidemiology, pathogenesis, diagnosis, and treatment. J Allergy Clin Immunol. 2014;133(2):291-307.
- Morice AH, Fontana GA, Belvisi MG, et al. ERS guidelines on the diagnosis and treatment of chronic cough in adults and children. Eur Respir J. 2020;55(1):1901136.
- Lee SY, Ahn KM, Kim J, et al. Diagnostic approach of food allergy in children. Pediatr Allergy Respir Dis. 2015;25(3):159-167.
- Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008 update. Allergy. 2008;63(s86):8-160.
- Skypala IJ, Vlieg-Boerstra BJ. Diagnosis and management of food allergy in adults. Expert Rev Clin Immunol. 2014;10(6):905-920.
Leave a Reply