Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Prevalensi DM terus meningkat secara global, termasuk di Indonesia, seiring dengan perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk membahas patofisiologi, tanda dan gejala, serta penanganan Diabetes Melitus secara sistematis. Penatalaksanaan DM mencakup perubahan gaya hidup, terapi farmakologis, serta pemantauan glukosa darah secara rutin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan utama dunia yang prevalensinya terus meningkat. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2023, diperkirakan terdapat lebih dari 500 juta penderita diabetes di dunia. Di Indonesia sendiri, angka kejadian DM juga terus bertambah, terutama DM tipe 2 yang erat kaitannya dengan gaya hidup tidak sehat, seperti pola makan tinggi kalori dan rendah aktivitas fisik.
Faktor risiko utama DM meliputi obesitas, riwayat keluarga, usia lanjut, serta kebiasaan hidup sedentari. DM dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM gestasional. DM tipe 2 merupakan tipe yang paling banyak ditemukan. Penanganan DM secara tepat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi serius seperti penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, kebutaan, dan amputasi.
Patofisiologi
Patofisiologi DM tipe 1 terjadi akibat kerusakan sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Proses ini biasanya disebabkan oleh reaksi autoimun, sehingga tubuh penderita tidak mampu memproduksi insulin sama sekali. Akibatnya, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel untuk diubah menjadi energi, menyebabkan hiperglikemia (kadar gula darah tinggi).
Sedangkan pada DM tipe 2, patofisiologi utamanya adalah resistensi insulin, yaitu kondisi ketika sel-sel tubuh tidak merespons insulin secara efektif. Selain itu, terdapat gangguan sekresi insulin oleh pankreas. Faktor utama pemicunya adalah obesitas sentral, pola makan buruk, dan kurang aktivitas fisik. Kelebihan lemak di tubuh meningkatkan produksi hormon yang mengganggu kerja insulin.
Epidemiologi
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang prevalensinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2023, diperkirakan lebih dari 537 juta orang dewasa (usia 20-79 tahun) di seluruh dunia hidup dengan diabetes. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 643 juta pada tahun 2030 dan 783 juta pada tahun 2045. Kenaikan ini banyak dipengaruhi oleh pola hidup tidak sehat, obesitas, kurang aktivitas fisik, dan pola makan tinggi kalori.
Di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, jumlah penderita DM juga mengalami peningkatan yang signifikan. IDF mencatat bahwa kawasan ini menyumbang sekitar 90 juta kasus diabetes pada tahun 2023. Selain faktor gaya hidup, faktor genetik, urbanisasi, dan peningkatan usia harapan hidup turut berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi DM di wilayah ini. Banyak penderita DM yang tidak terdiagnosis, sehingga risiko komplikasi lebih tinggi akibat keterlambatan pengobatan.
Di Indonesia, data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter mencapai 2,0%, sedangkan data terbaru dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2023 menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-5 dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 19,5 juta orang. Angka ini diprediksi terus meningkat seiring dengan perubahan pola makan, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Selain itu, tantangan besar Indonesia dalam menghadapi epidemi DM adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini dan pengelolaan penyakit secara rutin.
Tanda dan Gejala
Gejala utama DM yang klasik dikenal dengan istilah 3P, yaitu poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (sering lapar). Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah yang menarik cairan keluar dari jaringan tubuh dan menstimulasi rasa lapar berlebihan.
Selain itu, penderita DM sering mengalami penurunan berat badan meskipun nafsu makan meningkat. Kondisi ini terjadi karena tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi dan mulai memecah lemak dan protein untuk kebutuhan energi.
Gejala lain yang juga sering muncul adalah mudah lelah, luka yang sulit sembuh, infeksi berulang, kesemutan atau mati rasa pada tangan dan kaki, serta gangguan penglihatan. Pada beberapa kasus, DM bisa berlangsung tanpa gejala yang nyata, sehingga sering baru terdiagnosis saat terjadi komplikasi.
Diagnosis Diabetes
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) dilakukan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa dalam darah. Pemeriksaan ini penting untuk menentukan adanya gangguan metabolisme glukosa yang menjadi ciri khas DM. Diagnosis DM biasanya ditegakkan melalui beberapa metode, seperti pemeriksaan glukosa darah puasa (GDP), glukosa darah 2 jam setelah makan atau setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO), dan kadar hemoglobin A1c (HbA1c). Pemeriksaan ini harus dilakukan di laboratorium terpercaya dengan prosedur standar.
Pemeriksaan glukosa darah puasa dilakukan setelah pasien berpuasa minimal 8 jam. Hasil kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dL sudah dapat menunjukkan kriteria diagnosis DM. Sedangkan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan atau setelah tes toleransi glukosa oral, dengan hasil ≥200 mg/dL juga memenuhi kriteria diagnosis DM. Selain itu, pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang menunjukkan kadar ≥200 mg/dL disertai gejala klasik DM (seperti sering kencing, sering haus, dan penurunan berat badan tanpa sebab) juga dapat menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan HbA1c saat ini juga menjadi standar dalam mendiagnosis DM. Nilai HbA1c ≥6,5% sudah termasuk dalam kriteria diagnosis DM. Keunggulan pemeriksaan HbA1c adalah dapat menggambarkan kadar gula darah rata-rata dalam 2-3 bulan terakhir, sehingga dapat memberikan gambaran pengendalian glukosa dalam jangka panjang. Namun, pemeriksaan HbA1c memiliki keterbatasan pada pasien dengan kondisi tertentu, seperti anemia atau hemoglobinopati.
Untuk memastikan diagnosis, dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan ulang jika hasil pemeriksaan glukosa hanya dilakukan satu kali tanpa gejala. Hal ini penting untuk mencegah kesalahan diagnosis akibat faktor sementara, seperti stres, infeksi, atau penggunaan obat-obatan tertentu yang dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Dengan diagnosis yang akurat dan dini, pengelolaan DM dapat dimulai lebih cepat untuk mencegah komplikasi jangka panjang.
Penanganan
Penanganan DM meliputi modifikasi gaya hidup, seperti diet sehat, olahraga teratur, dan menjaga berat badan ideal. Diet DM mengutamakan makanan tinggi serat, rendah lemak jenuh, dan mengontrol asupan karbohidrat. Aktivitas fisik minimal 150 menit per minggu sangat dianjurkan.
Terapi farmakologis digunakan sesuai dengan tipe DM dan kondisi pasien. Pada DM tipe 1, terapi utama adalah insulin seumur hidup. Sedangkan DM tipe 2 umumnya diawali dengan obat oral seperti metformin, sulfonilurea, atau inhibitor DPP-4. Pada kondisi tertentu, pasien DM tipe 2 juga membutuhkan insulin.
Pemantauan glukosa darah secara berkala sangat penting untuk mengontrol kadar gula darah. Selain itu, penanganan DM juga meliputi kontrol faktor risiko lain seperti tekanan darah dan lipid, serta edukasi pasien tentang pentingnya perawatan kaki, pemeriksaan mata, dan deteksi dini komplikasi.
Kesimpulan
Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik kronis yang membutuhkan penanganan komprehensif. Pemahaman tentang patofisiologi, tanda gejala, dan strategi penanganan sangat penting untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Pengendalian gula darah yang optimal hanya dapat dicapai melalui kombinasi pola hidup sehat, terapi obat, dan pemantauan rutin.
Daftar Pustaka
- American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes—2023. Diabetes Care. 2023;46(Suppl 1):S1-S154.
- International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas 2023. 11th ed. Brussels, Belgium: IDF; 2023.
- Powers AC, Stafford JM, Rickels MR. Diabetes Mellitus: Diagnosis, Classification, and Pathophysiology. In: Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Loscalzo J, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 21st ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2022.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2023. Jakarta: Kemenkes RI; 2023.
Leave a Reply