Hepatitis C merupakan infeksi virus sistemik yang secara primer menyerang hati dan disebabkan oleh Hepatitis C Virus (HCV), virus RNA dari famili Flaviviridae. Infeksi HCV adalah salah satu penyebab utama hepatitis kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler di seluruh dunia. Penularannya terutama melalui darah, termasuk penggunaan jarum suntik bersama dan transfusi darah yang tidak disterilkan. Gejala infeksi HCV akut sering tidak spesifik atau bahkan asimtomatik, namun infeksi kronis berkembang pada sebagian besar kasus. Dengan perkembangan terapi antivirus langsung (direct-acting antivirals/DAA), prognosis HCV membaik secara signifikan. Artikel ini mengulas penyebab, patofisiologi, gejala, komplikasi, diagnosis, dan penanganan HCV pada dewasa berdasarkan literatur ilmiah terkini.
Hepatitis C adalah infeksi virus yang menjadi penyebab utama penyakit hati kronis dan transplantasi hati pada dewasa. Diperkirakan 58 juta orang di seluruh dunia hidup dengan infeksi HCV kronis, dengan sekitar 1,5 juta infeksi baru terjadi setiap tahun. Sebagian besar kasus tidak terdiagnosis karena infeksi awal umumnya tidak bergejala, sehingga menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang signifikan. Di Indonesia, prevalensi HCV pada populasi umum relatif rendah, tetapi lebih tinggi pada kelompok risiko tinggi seperti pengguna narkoba suntik dan penerima transfusi darah sebelum adanya skrining HCV rutin.
HCV memiliki kemampuan untuk menyebabkan infeksi kronis yang menetap selama bertahun-tahun tanpa gejala yang mencolok, namun perlahan merusak hati. Akhir dari proses ini bisa berupa sirosis hati atau kanker hati. Oleh karena itu, penting untuk memahami perjalanan klinis, mekanisme molekuler, dan terapi terbaru HCV agar dapat menanggulangi penyakit ini secara lebih efektif, terutama di kalangan populasi dewasa yang berisiko tinggi.
Penyebab
HCV ditularkan terutama melalui kontak darah yang terkontaminasi. Penularan paling umum terjadi melalui penggunaan jarum suntik secara bersama, prosedur medis invasif yang tidak steril, serta transfusi darah atau produk darah yang tidak disaring. Risiko juga meningkat pada individu yang menjalani hemodialisis jangka panjang, tenaga kesehatan yang terpapar jarum suntik, dan pasien dengan tato atau tindik menggunakan alat yang tidak steril.
Penularan secara seksual dan dari ibu ke anak juga mungkin terjadi, walau lebih jarang. Faktor risiko lain meliputi riwayat penerimaan transplantasi organ sebelum adanya skrining HCV, serta populasi dengan HIV atau penyakit menular seksual lainnya. Kurangnya gejala pada fase akut menyebabkan banyak individu tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi, dan tidak mendapatkan pengobatan tepat waktu.
Patofisiologi
HCV adalah virus RNA untai tunggal yang bersifat hepatotropik dan limfotropik. Virus ini memasuki hepatosit melalui reseptor spesifik seperti CD81 dan scavenger receptor class B type I. Setelah masuk, RNA virus akan direplikasi di sitoplasma tanpa integrasi ke dalam genom host, tetapi tetap dapat mengganggu regulasi seluler melalui protein viral seperti core, NS3, dan NS5A. Replikasi virus memicu aktivasi sistem imun bawaan dan adaptif, yang menyebabkan inflamasi hepatik.
Kerusakan hati disebabkan oleh respons imun terhadap sel hati yang terinfeksi, bukan oleh efek sitopatik langsung virus. Proses inflamasi kronik dan fibrogenesis yang dipicu oleh sitokin profibrotik seperti TGF-β menyebabkan akumulasi jaringan parut, yang pada akhirnya berkembang menjadi sirosis. Selain itu, HCV memiliki efek sistemik dan dikaitkan dengan manifestasi ekstrahepatik seperti krioglobulinemia, glomerulonefritis, dan sindrom Sjögren.
Tanda dan Gejala
Sebagian besar infeksi HCV akut bersifat asimtomatik atau menunjukkan gejala ringan seperti kelelahan, mual, nyeri otot, dan malaise. Kurang dari 25% pasien mengalami ikterus. Gejala ini biasanya muncul 2 hingga 12 minggu setelah paparan virus, dan sering kali tidak dikenali sebagai hepatitis. Sekitar 55–85% kasus infeksi akut berkembang menjadi kronik.
Infeksi HCV kronik bisa berlangsung tanpa gejala selama bertahun-tahun. Gejala awal yang muncul bisa berupa kelelahan kronik, anoreksia, penurunan berat badan, atau ketidaknyamanan di perut kanan atas. Pada pasien dengan kerusakan hati lanjut, dapat muncul tanda-tanda sirosis seperti ikterus, edema, ensefalopati hepatik, dan varises esofagus.
Manifestasi ekstrahepatik yang sering ditemukan meliputi sindrom krioglobulinemia (purpura, nyeri sendi, neuropati), penyakit ginjal terkait HCV, dan kelainan autoimun. Gejala-gejala ini sering menjadi petunjuk pertama yang mengarah pada diagnosis HCV pada pasien yang tampaknya tidak menunjukkan keluhan hepatik.
Komplikasi
Komplikasi utama infeksi HCV kronis adalah sirosis hati, yang ditandai oleh fibrosis hati progresif, hipertensi portal, dan kegagalan fungsi hepatik. Pasien dengan sirosis berisiko mengalami dekompensasi, termasuk asites, perdarahan varises, dan ensefalopati hepatik. Sekitar 10–20% pasien dengan HCV kronik akan mengalami sirosis dalam waktu 20–30 tahun.
HCV juga merupakan faktor risiko utama terjadinya hepatokarsinoma (HCC), terutama pada pasien dengan sirosis. Risiko HCC meningkat secara signifikan pada pasien dengan infeksi HCV jangka panjang, viral load tinggi, konsumsi alkohol, atau ko-infeksi dengan HBV atau HIV. Komplikasi sistemik lain termasuk gangguan metabolik seperti resistensi insulin dan diabetes mellitus.
Diagnosis
Diagnosis HCV dilakukan melalui dua tahap: skrining antibodi anti-HCV dan konfirmasi dengan tes RNA HCV. Pemeriksaan serologis (ELISA) mendeteksi antibodi terhadap HCV sebagai bukti paparan virus, sedangkan pemeriksaan PCR HCV RNA menilai keberadaan dan kadar virus aktif dalam tubuh. Pasien dengan anti-HCV positif dan HCV RNA positif dianggap memiliki infeksi aktif.
Pemeriksaan tambahan meliputi penilaian fungsi hati (ALT, AST, albumin, bilirubin), serta metode non-invasif untuk menilai fibrosis hati seperti FibroScan atau APRI score. Pada pasien dengan risiko tinggi atau temuan mencurigakan, biopsi hati dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi tingkat inflamasi dan fibrosis. Skrining rutin untuk HCC pada pasien dengan sirosis HCV dilakukan dengan USG per 6 bulan dan AFP.
Penanganan
Terapi HCV saat ini mengalami revolusi besar dengan hadirnya direct-acting antivirals (DAA) yang sangat efektif dan memiliki efek samping minimal. Regimen DAA standar meliputi kombinasi obat seperti sofosbuvir, ledipasvir, velpatasvir, dan glecaprevir/pibrentasvir. Durasi pengobatan berkisar antara 8–12 minggu tergantung pada genotipe, derajat fibrosis, dan riwayat terapi sebelumnya.
DAA bekerja dengan menghambat protein non-struktural virus seperti NS3/4A, NS5A, dan NS5B, sehingga mengganggu replikasi virus. Tingkat kesembuhan (sustained virologic response/SVR) mencapai lebih dari 95% pada sebagian besar pasien dewasa, bahkan pada pasien dengan sirosis kompensata. SVR berarti virus tidak terdeteksi 12 minggu setelah terapi dan dianggap sebagai kesembuhan fungsional.
Selain terapi farmakologis, aspek penting lainnya adalah edukasi pasien untuk menghindari alkohol, obat hepatotoksik, serta menjaga gaya hidup sehat. Skrining HCV harus dilakukan pada kelompok berisiko tinggi dan individu dengan fungsi hati abnormal tanpa penyebab jelas. Vaksinasi terhadap HBV dan HAV juga dianjurkan untuk pasien dengan HCV kronik guna mencegah ko-infeksi.
Kesimpulan
Hepatitis C adalah infeksi virus kronik yang dapat menimbulkan komplikasi serius jika tidak ditangani, termasuk sirosis dan kanker hati. Diagnosis dini dan pengobatan dengan DAA telah secara dramatis meningkatkan angka kesembuhan. Upaya pencegahan, deteksi dini, dan penanganan komprehensif sangat penting dalam menanggulangi beban penyakit HCV, khususnya pada populasi dewasa.
Daftar Pustaka
- World Health Organization. Hepatitis C. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-c
- Afdhal N, Zeuzem S, Kwo P, et al. Ledipasvir and sofosbuvir for untreated HCV genotype 1 infection. N Engl J Med. 2014;370(20):1889-1898. doi:10.1056/NEJMoa1402454
- Thomas DL. Global elimination of chronic hepatitis. N Engl J Med. 2019;380(21):2041-2050. doi:10.1056/NEJMra1810477
- Feld JJ, Jacobson IM, Hézode C, et al. Sofosbuvir and velpatasvir for HCV genotype 1, 2, 4, 5, and 6 infection. N Engl J Med. 2015;373(27):2599-2607. doi:10.1056/NEJMoa1512610
- Pawlotsky JM. Hepatitis C virus resistance to direct-acting antiviral drugs in interferon-free regimens. Gastroenterology. 2016;151(1):70-86. doi:10.1053/j.gastro.2016.04.003
Leave a Reply