
Alergi Makanan dan Gangguan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan pada Dewasa: Imunopatofisiologi, Diagnosis, dan Penanganan Oral Food Challenge (OFC)
Penulis:
Widodo Judarwanto¹, Audi Yudhasmara², Sandiaz Yudhasmara³
¹²³Alerginet Research Network, Jakarta, Indonesia
Abstrak
Alergi makanan pada dewasa sering tidak dikenali dan dapat memicu berbagai gangguan inflamasi kronis, termasuk pada saluran THT (telinga, hidung, dan tenggorokan). Manifestasi THT yang terkait alergi makanan meliputi otitis media dengan efusi, rinitis kronis, polip hidung, disfagia, dan faringitis persisten, yang sering tidak responsif terhadap terapi konvensional. Uji tantangan makanan oral (Oral Food Challenge, OFC) tetap menjadi standar emas dalam diagnosis alergi makanan yang dimediasi IgE, sedangkan tes sensitisasi (SPT, sIgE, BAT) hanya bersifat suportif. Artikel ini membahas definisi alergi makanan, angka kejadian pada dewasa, mekanisme imunopatofisiologis gangguan THT terkait alergi makanan, tanda dan gejala klinis, serta strategi penanganan OFC untuk memastikan diagnosis dan manajemen yang tepat.
1. Pendahuluan
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan yang meningkat secara global, dengan prevalensi sekitar 3–4% pada dewasa dan 6% pada anak-anak. Pada dewasa, alergi makanan dapat memicu reaksi imun serius termasuk anafilaksis, serta menimbulkan keluhan THT seperti otitis media dengan efusi, disfagia orofaring, rinitis kronis, dan polip hidung. Gangguan ini sering tidak merespons terapi standar THT, sehingga diagnosis dan manajemen memerlukan pendekatan multidisiplin.
Deteksi dini gangguan THT terkait alergi makanan pada dewasa sangat penting, karena beberapa pasien menunjukkan perbaikan klinis melalui diet eliminasi. Diagnosis yang akurat membutuhkan evaluasi klinis sistematis, termasuk uji OFC, karena tes sensitisasi seperti SPT, sIgE, dan BAT tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa bukti reaksi nyata terhadap alergen yang dicurigai.
2. Definisi
Alergi makanan adalah reaksi imunologi terhadap makanan tertentu, dapat dimediasi IgE maupun non-IgE, yang menimbulkan gejala lokal maupun sistemik. Pada alergi IgE, paparan alergen makanan memicu aktivasi sel mast, pelepasan histamin, dan sitokin proinflamasi, yang dapat memengaruhi berbagai organ termasuk saluran THT.
Gangguan THT terkait alergi makanan pada dewasa meliputi rinitis kronis, polip hidung, otitis media dengan efusi, disfagia, dan faringitis persisten. Kondisi ini sering tidak membaik dengan terapi THT konvensional karena penyebab utama adalah respons imun terhadap alergen makanan, sehingga pendekatan manajemen yang tepat harus mencakup imunologi dan diet eliminasi.
3. Angka Kejadian
Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi alergi makanan pada dewasa berkisar 3–4%, dengan insiden yang meningkat dalam dekade terakhir. Manifestasi THT pada dewasa sering kurang dilaporkan karena gejala bersifat kronis dan tidak spesifik. Beberapa studi menunjukkan bahwa dewasa dengan alergi makanan memiliki risiko lebih tinggi mengalami otitis media dengan efusi, rinitis kronis, polip hidung, dan disfagia. Meskipun data prevalensi THT terkait alergi makanan pada dewasa terbatas dibanding anak-anak, sejumlah laporan klinis menegaskan adanya perbaikan gejala setelah diet eliminasi, menekankan hubungan antara alergi makanan dan gangguan saluran THT.
Penelitian epidemiologis terbaru menunjukkan bahwa prevalensi alergi makanan pada orang dewasa lebih tinggi dari yang selama ini diperkirakan. Sebuah meta‑analisis 2025 melaporkan bahwa prevalensi seumur hidup dari reaksi alergi makanan yang dilaporkan sendiri pada seluruh kelompok usia di Eropa mencapai ~18,7 %, namun ketika dikonfirmasi dengan tes provokasi makanan atau uji tantangan makanan, angka point prevalence hanya sekitar 0,7 %. Sementara itu studi “The Natural History and Risk Factors for the Development of Food Allergies in Children and Adults” mencatat bahwa pada orang dewasa, alergi makanan baru (adult onset) dan alergi yang berlanjut dari anak‑anak kini makin umum, dengan prevalensi yang dilaporkan lebih dari 10 % dalam survei responden dewasa (meskipun banyak yang self‑reported) dan reaksi berat termasuk anafilaksis dialami >50 % dari mereka. Data komersial juga memperkirakan bahwa pada tahun 2024 terdapat sekitar 60 juta kasus alergi makanan di berbagai negara besar, dan dari angka tersebut lebih dari 24 juta kasus adalah dewasa dengan bentuk berat.
Meskipun data spesifik yang menghubungkan alergi makanan dewasa dengan gangguan THT (telinga, hidung, tenggorokan) masih terbatas dibandingkan pada anak‑anak, beberapa laporan klinis dan review mengindikasikan bahwa orang dewasa dengan alergi makanan memiliki peningkatan risiko mengalami manifestasi THT kronis. Sebagai contoh, satu studi menyoroti bahwa kondisi seperti rinitis kronis, polip hidung, dan otitis media dengan efusi ditemukan lebih sering pada pasien alergi makanan dibandingkan populasi umum. Review terbaru juga mencatat bahwa meskipun prevalensi alergi makanan pada dewasa relatif rendah dibandingkan anak‑anak, dampak klinisnya bisa besar karena seringkali baru terdiagnosis saat terjadi reaksi berat atau komplikasi THT yang sulit ditangani.
Menariknya, data menunjukkan bahwa meskipun terapi THT konvensional seringkali tidak efektif pada kasus dengan komponen alergi makanan, intervensi yang menargetkan alergen di makanan (seperti diet eliminasi) dapat membawa perbaikan klinis signifikan. Keterkaitan ini memperkuat asumsi bahwa alergi makanan mungkin berperan dalam etiologi gangguan THT kronis pada dewasa. Dengan demikian, angka kejadian yang meningkat dan bukti klinis yang mulai muncul menetapkan urgensi untuk penelitian lebih lanjut terhadap prevalensi alergi makanan dalam konteks THT dewasa, termasuk kebutuhan data spesifik prevalensi manifestasi THT dan efek intervensi diet/allergen di populasi dewasa.
4. Hubungan Alergi Makanan dan Gangguan THT: Imunopatofisiologi
Alergi makanan pada dewasa memicu respons imun kompleks yang melibatkan IgE, sel mast, eosinofil, dan sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-5, dan IL-13, yang memengaruhi jaringan THT. Aktivasi sel mast dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin menyebabkan edema mukosa, obstruksi saluran pernapasan atas, peningkatan sekresi lendir, serta efusi telinga tengah, yang menjelaskan manifestasi rinitis kronis, polip hidung, dan otitis media persisten.
Selain itu, infiltrasi eosinofil dan limfosit Th2 di mukosa nasofaring, orofaring, dan esofagus berperan dalam patogenesis disfagia dan faringitis kronis. Disregulasi sel T regulator (Treg) akibat stimulasi alergen berulang mengurangi toleransi imun terhadap alergen makanan, sedangkan sitokin proinflamasi meningkatkan permeabilitas jaringan, memfasilitasi penetrasi alergen lebih lanjut, dan memperkuat siklus inflamasi kronis.
Intervensi melalui modulasi imun dengan diet eliminasi atau OFC yang terkontrol sangat penting. Mengurangi paparan alergen menekan aktivasi sel mast dan eosinofil, menurunkan pelepasan sitokin proinflamasi, memperbaiki integritas epitel, dan memulihkan homeostasis imun lokal di THT. Pendekatan ini merupakan strategi terapeutik efektif pada dewasa dengan gangguan THT terkait alergi makanan.
5. Tabel Tanda dan Gejala
| Sistem | Gejala Utama | Keterangan Singkat |
|---|---|---|
| Telinga | Otitis media dengan efusi | Penumpukan cairan telinga tengah, gangguan pendengaran |
| Hidung | Obstruksi hidung, rinitis, polip hidung | Edema mukosa, pilek kronis, sulit bernapas |
| Tenggorokan | Disfagia, faringitis kronis | Kesulitan menelan, nyeri tenggorokan, iritasi kronis |
| Sistem umum | Reaksi alergi kulit, gastrointestinal, anafilaksis | Bersamaan dengan gejala THT pada alergi makanan berat |
Gejala THT yang terkait alergi makanan pada dewasa sering bersifat persisten dan tidak responsif terhadap terapi konvensional. Manifestasi kronis ini menunjukkan bahwa alergi makanan merupakan faktor utama penyebab, dan pendekatan berbasis alergen merupakan strategi terapeutik yang efektif. Infiltrasi eosinofil, limfosit, dan sel mast pada mukosa THT menandakan respons inflamasi berkelanjutan, dengan pelepasan sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-5, dan IL-13, yang memperkuat siklus inflamasi kronis.
Identifikasi tanda dan gejala spesifik sangat penting untuk diagnosis dini dan manajemen efektif. Evaluasi klinis harus mencakup riwayat hubungan konsumsi makanan dengan gejala, respons terhadap diet eliminasi, pemeriksaan endoskopi, dan pemantauan fungsi telinga tengah untuk mendukung diagnosis akurat dan intervensi tepat waktu.
6. Penanganan: Oral Food Challenge (OFC)
- OFC sebagai standar emas diagnosis:
OFC tetap menjadi standar emas dalam diagnosis alergi makanan yang dimediasi IgE pada dewasa karena memberikan bukti klinis langsung mengenai respons terhadap alergen spesifik. Prosedur dilakukan dengan paparan bertahap alergen makanan mulai dari dosis rendah hingga dosis penuh, di bawah pengawasan medis ketat, memungkinkan identifikasi reaksi alergi nyata dan menghindari diagnosis palsu. - Persiapan dan pemantauan selama OFC:
Pelaksanaan OFC mencakup penilaian risiko pasien, termasuk riwayat reaksi anafilaksis, kondisi medis penyerta, dan penghentian obat yang memengaruhi respons alergi. Pemberian alergen dilakukan bertahap dengan interval tertentu, sambil memantau tanda-tanda klinis, mulai dari gejala ringan hingga berat, untuk tindakan cepat bila terjadi reaksi. - Keamanan pasien selama OFC:
Keamanan menjadi prioritas utama. Ketersediaan epinefrin, alat resusitasi, dan protokol darurat memastikan penanganan segera bila terjadi reaksi berat. Protokol menentukan kapan tes harus dihentikan, misalnya saat muncul gejala sistemik signifikan atau gangguan pernapasan, sehingga risiko minimal dan informasi diagnostik valid diperoleh. - Manfaat hasil OFC untuk manajemen alergi:
Hasil OFC mengonfirmasi diagnosis, menentukan toleransi atau sensitivitas terhadap alergen, dan menuntun intervensi diet eliminasi atau reintroduksi makanan secara aman. Dengan demikian, OFC bukan hanya diagnostik, tetapi juga komponen terapeutik penting dalam manajemen alergi makanan dan gangguan THT pada dewasa, mendukung pencegahan komplikasi jangka panjang dan peningkatan kualitas hidup pasien.
7. Kesimpulan
Alergi makanan pada dewasa berhubungan erat dengan gangguan THT, termasuk otitis media dengan efusi, disfagia, rinitis kronis, dan polip hidung. Mekanisme imunopatofisiologi melibatkan IgE, sel mast, eosinofil, dan sitokin proinflamasi, menyebabkan gejala klinis persisten. OFC tetap menjadi standar emas untuk diagnosis, serta membantu menentukan strategi diet eliminasi yang efektif, meningkatkan hasil klinis pasien dan mengurangi komplikasi THT.
Daftar Pustaka
- Missal SC. Food allergy in ear, nose, and throat disease. Otolaryngol Clin North Am. 1971 Oct;4(3):479-90. PMID: 5111518
- Magid SL. Surgical treatment in allergic disorders of the ear, nose, and throat. Otolaryngol Clin North Am. 1971 Oct;4(3):583-9.
- Paddack A, Gibbons T, Smith C, Patil S, Richter GT. Food hypersensitivity and otolaryngologic conditions in young children. Otolaryngol Head Neck Surg. 2012 Aug;147(2):215-20. doi:10.1177/0194599812441573
- Ramakrishnan JB. The role of food allergy in otolaryngology disorders. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2010 Jun;18(3):195-9.
- Klimek L, et al. Otitis Media With Effusion (OME) and Eustachian Tube Dysfunction: The Role of Allergy and Immunity—An EAACI Position Paper. Allergy. 2025 Apr; doi:10.1111/all.16554













Leave a Reply