Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering ditemukan pada anak di seluruh dunia. Penyakit ini ditandai oleh inflamasi saluran napas, obstruksi saluran napas yang reversibel, dan hiperresponsivitas bronkus. Faktor genetik, lingkungan, serta peran alergi makanan menjadi bagian penting dalam perkembangan asma pada anak. Artikel ini bertujuan untuk mengulas aspek epidemiologi, patofisiologi seluler, hubungan alergi makanan, diagnosis, tanda gejala, dan penanganan asma pada anak secara sistematis.
Asma pada anak merupakan tantangan besar dalam dunia kesehatan global. Prevalensinya terus meningkat dari tahun ke tahun seiring perubahan gaya hidup dan paparan alergen di lingkungan. Selain menyebabkan gangguan pernapasan, asma juga berdampak signifikan pada kualitas hidup anak, aktivitas harian, hingga prestasi belajar.
Berbagai faktor risiko berperan dalam memicu asma, di antaranya faktor genetik, lingkungan, paparan polusi, dan adanya alergi makanan. Hubungan antara alergi makanan dan asma semakin banyak diteliti, mengingat reaksi alergi dapat memperberat gejala asma bahkan meningkatkan risiko eksaserbasi.
Epidemiologi
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 262 juta orang menderita asma, dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada anak-anak. Di beberapa negara berkembang, prevalensi asma pada anak mencapai 10-20%, sedangkan di negara maju bahkan lebih tinggi.
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat prevalensi asma pada anak mencapai 4,5%. Faktor urbanisasi, polusi udara, dan perubahan pola hidup diduga turut berperan dalam peningkatan kasus asma pada anak di Indonesia.
Patofisiologi
Patofisiologi asma pada anak dimulai dari paparan alergen atau faktor pemicu yang menyebabkan aktivasi sel-sel imun di saluran napas. Sel mast, eosinofil, dan limfosit T berperan penting dalam proses inflamasi yang menyebabkan penyempitan saluran napas.
Secara seluler, terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, dan sitokin yang menyebabkan edema, produksi lendir berlebih, dan hiperresponsivitas bronkus. Perubahan ini bersifat reversibel namun dapat menyebabkan remodeling saluran napas bila berlangsung kronis.
Hubungan antara alergi makanan dan asma semakin diperkuat oleh bukti bahwa reaksi alergi makanan dapat memicu pelepasan IgE dan mediator inflamasi yang sama, memperberat inflamasi saluran napas. Anak dengan riwayat alergi makanan memiliki risiko lebih tinggi mengalami asma.
Diagnosis
Diagnosis asma pada anak didasarkan pada anamnesis riwayat gejala khas seperti batuk kronis, sesak napas, dan mengi, terutama yang dipicu aktivitas fisik atau alergen tertentu. Riwayat keluarga dengan asma atau alergi juga menjadi faktor pendukung diagnosis.
Pemeriksaan penunjang meliputi spirometri untuk menilai fungsi paru dan reversibilitas obstruksi setelah pemberian bronkodilator. Pada anak kecil, diagnosis lebih banyak didasarkan pada gejala klinis dan respons terhadap terapi asma.
Berikut penjelasan tentang penanganan Oral Food Challenge (OFC) dalam dermatitis anak dalam 3 paragraf:
Penanganan asma pada anak yang dicurigai berhubungan dengan alergi makanan tidak cukup hanya mengandalkan tes alergi laboratorium seperti pemeriksaan IgE spesifik atau skin prick test (SPT). Hasil tes tersebut hanya menunjukkan adanya sensitisasi, bukan berarti pasti menyebabkan gejala klinis. Oleh karena itu, metode Oral Food Challenge (OFC) atau uji tantangan makanan merupakan standar emas (gold standard) dalam memastikan apakah makanan tertentu benar-benar menjadi pencetus dermatitis anak.
Prosedur OFC dilakukan secara bertahap dan terkontrol di bawah pengawasan tenaga medis, terutama dokter spesialis anak konsultan alergi imunologi. Anak akan diberikan makanan yang dicurigai sebagai pencetus secara bertahap, mulai dari dosis kecil hingga dosis penuh sambil dipantau gejala kulit atau reaksi alergi lainnya. Jika setelah OFC muncul reaksi konstipasi, nyeri oerut, mual, reaksi kulit berupa kemerahan, gatal, atau perburukan asma maka dapat disimpulkan bahwa makanan tersebut menjadi pemicu alergi. Sebaliknya, jika tidak ada reaksi, maka makanan tersebut dinyatakan aman dan tidak perlu dihindari.
Penting dipahami bahwa penanganan asma anak berbasis alergi makanan tidak boleh asal melakukan eliminasi makanan hanya berdasarkan hasil tes laboratorium. Penghindaran makanan tanpa konfirmasi OFC justru berisiko menyebabkan gangguan nutrisi dan tumbuh kembang anak. Oleh sebab itu, OFC menjadi langkah penting dalam manajemen dermatitis atopik yang berkaitan dengan alergi makanan, agar pengobatan lebih tepat, tidak berlebihan, dan tetap menjaga kecukupan gizi anak.
Tanda dan Gejala
Gejala utama asma pada anak adalah batuk kronis, terutama malam hari atau saat beraktivitas fisik. Batuk ini sering kali kering dan disertai mengi (napas berbunyi).
Sesak napas atau sulit bernapas juga menjadi gejala khas, terutama saat anak bermain, berolahraga, atau tertawa berlebihan. Gejala ini sering memburuk pada malam atau dini hari.
Mengi atau suara napas berbunyi seperti siulan muncul akibat penyempitan saluran napas. Selain itu, anak dengan asma sering tampak mudah lelah, gelisah, atau mengalami gangguan tidur akibat batuk atau sesak.
Penanganan
Penanganan asma pada anak meliputi kontrol lingkungan, terapi farmakologi, dan edukasi keluarga. Penghindaran alergen seperti debu, asap rokok, dan makanan pencetus alergi sangat penting.
Obat utama untuk pengendalian asma adalah kortikosteroid inhalasi sebagai antiinflamasi. Bronkodilator seperti beta-2 agonis digunakan untuk meredakan serangan akut. Pada kasus berat, dapat diberikan terapi leukotriene receptor antagonist atau imunoterapi.
Edukasi keluarga sangat penting untuk memastikan kepatuhan penggunaan obat, pengenalan gejala eksaserbasi, serta penggunaan inhaler yang tepat. Monitoring rutin dan evaluasi pertumbuhan anak juga perlu dilakukan.
Kesimpulan
Asma pada anak merupakan penyakit kronis yang dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan alergi, termasuk alergi makanan. Diagnosis asma memerlukan evaluasi klinis yang cermat, dan penanganan melibatkan pengendalian lingkungan, terapi obat, serta edukasi keluarga. Deteksi dini dan tata laksana yang optimal sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan asma.
Daftar Pustaka
- Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2023.
- Ministry of Health Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018.
- Licari A, Castagnoli R, Brambilla I, et al. Food Allergy and Asthma: A Complex Interplay. Front Pediatr. 2017;5:165.
- Martinez FD. Genes, environments, development and asthma: a reappraisal. Eur Respir J. 2007;29(1):179-184.
- Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, et al. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67(8):976-997.
Leave a Reply