DOKTER AIRLANGGA

SMART PEOPLE, SMART HEALTH

Pengobatan Komplementer dan Tradisional dari Perspektif Islam: Suatu Kajian Sistematis

Pengobatan Komplementer dan Tradisional dari Perspektif Islam: Suatu Kajian Sistematis

Abstrak 

Pengobatan komplementer dan tradisional (PKT) telah digunakan luas dalam masyarakat Muslim di seluruh dunia, dengan landasan religius dan budaya yang kuat. Dalam perspektif Islam, kesehatan dianggap sebagai amanah Allah yang harus dijaga melalui pendekatan spiritual dan ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis prinsip-prinsip pengobatan komplementer dan tradisional dalam Islam, termasuk dasar teologisnya, bukti ilmiah efektivitasnya, serta tantangan integrasinya ke dalam sistem kesehatan modern. Metode systematic review dilakukan terhadap 56 artikel dari database PubMed, Scopus, dan Al-Manhal (2000–2024). Hasil menunjukkan bahwa pengobatan berbasis tibb nabawi (pengobatan Nabi), herbal, hijamah (bekam), ruqyah syar’iyyah, dan terapi doa memiliki nilai spiritual dan empiris bila dilakukan sesuai prinsip syariah dan kaidah medis. Islam mendukung penggunaan pengobatan komplementer selama tidak mengandung syirik, tidak membahayakan, dan memiliki bukti manfaat. Integrasi PKT-Islam ke dalam kedokteran modern menuntut standar etik, ilmiah, dan regulasi yang jelas agar aman, efektif, dan sesuai maqāṣid al-syarī‘ah.

Kata kunci: pengobatan komplementer, pengobatan tradisional, tibb nabawi, Islam, integrasi medis

Abstract 

Complementary and traditional medicine (CTM) is widely practiced in Muslim societies, rooted in religious and cultural traditions. In Islam, health is viewed as a divine trust (amanah) that must be preserved through both spiritual and scientific approaches. This systematic review explores the theological foundations, scientific evidence, and integration challenges of CTM from an Islamic perspective. A systematic review of 56 articles from PubMed, Scopus, and Al-Manhal (2000–2024) was conducted. Findings indicate that Tibb Nabawi (Prophetic medicine), herbal therapies, hijama (cupping), ruqyah, and prayer-based healing offer spiritual and empirical benefits when practiced within Islamic ethical boundaries and medical safety principles. Islam endorses complementary medicine as long as it avoids superstition (shirk), prevents harm, and demonstrates clear benefit. Integrating Islamic CTM into modern healthcare requires ethical oversight, scientific validation, and alignment with maqasid al-shariah to ensure safe and holistic patient care.

Keywords: complementary medicine, traditional healing, Tibb Nabawi, Islamic medicine, medical integration

Pendahuluan

Pengobatan komplementer dan tradisional (PKT) mencakup berbagai praktik terapeutik yang tidak sepenuhnya termasuk dalam kedokteran modern tetapi memiliki sejarah panjang dalam budaya dan agama. Dalam konteks Islam, konsep kesehatan mencakup keseimbangan antara aspek jasmani, ruhani, dan sosial. Rasulullah ﷺ sendiri mendorong umat untuk berobat, sebagaimana sabdanya:

“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan pula obatnya.”
(HR. Bukhari)

Pengobatan dalam Islam dikenal sebagai tibb nabawi, yang meliputi penggunaan madu, habbatus sauda (Nigella sativa), bekam, dan doa. Namun, dengan berkembangnya kedokteran modern, muncul kebutuhan untuk mengintegrasikan pengobatan komplementer secara ilmiah agar tidak bertentangan dengan prinsip keselamatan medis dan akidah Islam.

Metode

Studi ini menggunakan pendekatan systematic review berdasarkan pedoman PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses)

Sumber Data:

Pencarian dilakukan di database PubMed, Scopus, dan Al-Manhal dengan kata kunci: Islamic medicine, Prophetic medicine, complementary and alternative medicine (CAM), Tibb Nabawi, dan hijama.

Kriteria Inklusi:

  1. Artikel ilmiah yang diterbitkan 2000–2024.
  2. Membahas praktik pengobatan komplementer dari sudut pandang Islam.
  3. Menyertakan data empiris atau analisis teologis.

Sebanyak 56 artikel memenuhi kriteria dan dianalisis secara tematik untuk menemukan pola teologis, klinis, dan etik.

Tabel 1. Perbandingan Pengobatan Komplementer dan Tradisional dari Perspektif Islam

AspekPengobatan KomplementerPengobatan TradisionalPerspektif Islam
DefinisiTerapi tambahan yang digunakan bersama dengan pengobatan medis modern, seperti akupunktur, herbal, atau terapi spiritual.Pengobatan yang berasal dari warisan budaya dan praktik nenek moyang, mencakup ramuan alami, pijat, dan ritual penyembuhan lokal.Islam memandang pengobatan sebagai ikhtiar yang harus selaras dengan syariat, menekankan keseimbangan antara jasmani dan ruhani.
Sumber dan DasarBerdasarkan penelitian ilmiah modern dan uji klinis tertentu untuk mendukung efektivitas dan keamanan.Berdasarkan pengalaman empiris masyarakat dan turun-temurun tanpa selalu melalui uji ilmiah modern.Islam menilai baik pengobatan yang bersumber dari halal dan thayyib (baik), serta tidak bertentangan dengan prinsip tauhid.
Contoh PraktikAkupunktur, terapi herbal modern, bekam medis, yoga Islami, ruqyah syar’iyyah, dan aromaterapi.Jamu tradisional, pijat urut, ramuan daun, mandi uap, dan ritual penyembuhan lokal.Pengobatan Nabawi seperti madu, habbatus sauda, bekam, serta doa dan ruqyah adalah contoh komplementer Islami.
Pendekatan terhadap PenyakitBerfokus pada holistik—menyentuh aspek fisik, mental, dan spiritual pasien.Lebih menitikberatkan pada keseimbangan tubuh dan energi alamiah.Islam menekankan keseimbangan jasmani, ruhani, dan sosial, serta tawakal kepada Allah setelah berikhtiar.
Landasan Etik dan SyariahMenekankan keamanan, bukti ilmiah, dan kesesuaian dengan nilai moral Islam.Kadang bercampur dengan kepercayaan lokal atau praktik mistik yang perlu disaring sesuai akidah Islam.Islam mendorong pengobatan yang tidak mengandung unsur syirik, khurafat, atau bahan haram.

Dalam perspektif Islam, pengobatan komplementer dan tradisional dipandang sebagai bagian dari ikhtiar manusia dalam menjaga dan memulihkan kesehatan, selama tidak bertentangan dengan ajaran syariat. Islam mengajarkan keseimbangan antara usaha medis dan doa spiritual, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya, maka apabila obat itu mengenai penyakitnya, ia akan sembuh dengan izin Allah” (HR. Muslim). Prinsip dasar ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk memanfaatkan berbagai bentuk terapi, baik modern maupun tradisional, selama memenuhi kriteria halal, thayyib, dan terbukti memberi manfaat. Oleh karena itu, terapi seperti bekam, madu, habbatus sauda, dan ruqyah syar’iyyah tidak hanya diakui secara religius, tetapi juga banyak terbukti secara ilmiah mendukung kesehatan tubuh.

Namun, Islam juga mengingatkan agar umat tidak terjebak pada praktik yang berbau mistik, syirik, atau tidak rasional yang sering menyertai sebagian metode pengobatan tradisional. Praktik seperti penggunaan jimat, mantra non-Islami, atau kepercayaan terhadap kekuatan selain Allah harus dihindari, karena bertentangan dengan prinsip tauhid. Di sisi lain, Islam mendorong pengembangan ilmu kedokteran dan integrasi antara pengobatan modern dan komplementer yang ilmiah, sehingga dapat menghasilkan sistem integrative medicine yang seimbang antara medis, spiritual, dan moral. Dengan demikian, pengobatan komplementer dan tradisional dari perspektif Islam bukanlah sekadar warisan budaya, tetapi bentuk harmonisasi antara ilmu pengetahuan, keimanan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Hasil

1. Dasar Teologis dan Prinsip Syariah

Pengobatan dalam Islam dilandaskan pada konsep tawakal dan ikhtiar. Prinsip utama meliputi:

  • Larangan Syirik: Tidak boleh mengandung unsur perdukunan, jimat, atau mantra non-Islam.
  • Kaedah “La darar wa la dirar”: Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi tubuh.
  • Maqasid al-Shariah: Menjaga kehidupan (hifz al-nafs) dan akal (hifz al-‘aql).
  • Tawassul dan doa: Dibenarkan sebagai bentuk spiritual healing tanpa menggantikan terapi medis.

2. Bentuk-bentuk Pengobatan Komplementer Islami

Jenis TerapiSumber Hadis / LiteraturBukti Ilmiah Modern
Bekam (Hijamah)HR. Muslim: Rasulullah bersabda bahwa bekam adalah pengobatan terbaik.Menurunkan tekanan darah, mengurangi inflamasi (meta-analisis 2023, Complement Ther Med).
Habbatus Sauda (Nigella sativa)“Habbatus sauda adalah obat untuk segala penyakit kecuali kematian” (HR. Bukhari).Efek imunomodulator, antimikroba, antihipertensi.
MaduDisebut dalam QS. An-Nahl: 69 sebagai obat bagi manusia.Terbukti mempercepat penyembuhan luka dan antioksidan tinggi.
Ruqyah syar’iyyahBacaan Al-Qur’an untuk penyembuhan spiritual.Menurunkan stres, kecemasan, dan meningkatkan keseimbangan neuroendokrin.
Terapi doa & zikirSunnah Rasul dan praktik sahabat.Studi neuropsikologis menunjukkan peningkatan kesejahteraan spiritual dan fungsi imun.

3. Integrasi dengan Kedokteran Modern

WHO (2023) menekankan integrasi Traditional, Complementary, and Integrative Medicine (TCIM) dalam sistem kesehatan. Negara-negara seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Indonesia telah membentuk regulasi PKT berbasis syariah. Pendekatan integratif ini memerlukan kolaborasi ulama, dokter, dan peneliti.

Pembahasan

Islam tidak menolak ilmu kedokteran modern, namun menekankan keseimbangan antara pengobatan ilmiah dan spiritualitas. Pendekatan integratif ini telah terbukti bermanfaat di RS Islam Malaysia dan Saudi, di mana bekam, herbal, dan ruqyah digunakan sebagai terapi tambahan bagi pasien kronis dengan pengawasan medis.

Pengobatan komplementer dan tradisional (T&CM) dalam konteks Muslim tidak hanya dipahami sebagai praktik kebudayaan atau rekayasa empiris semata, melainkan bagian dari tradisi medis yang memiliki akar religius—terutama melalui konsep tibb nabawi (pengobatan Nabi) yang mengharmoniskan ikhtiar medis dan dimensi spiritual. Dalam perspektif Islam yang sehat secara teologis, pengobatan adalah bentuk amanah untuk merawat tubuh sebagai anugerah Allah, sehingga setiap terapi—baik modern maupun tradisional—harus dievaluasi menurut kriteria syariah (halal, thayyib) dan bukti manfaatnya. Secara historis, praktik seperti madu, habbatus sauda (Nigella sativa), dan bekam (al-hijamah) dilaporkan dalam tradisi hadits dan pengobatan klasik; penelitian modern juga telah menilai beberapa praktik tersebut: misalnya, meta-analisis dan ulasan sistematis menunjukkan efek positif madu pada penyembuhan luka dan ulkus diabetik (pengurangan waktu penyembuhan dan peningkatan tingkat kesembuhan pada beberapa RCT).

Dukungan ilmiah untuk praktik-praktik yang termasuk tibb nabawi bersifat heterogen—ada bukti menengah untuk beberapa intervensi, sementara intervensi lain masih memerlukan penelitian berkualitas tinggi. Contohnya, kajian sistematis dan meta-analisis tentang Nigella sativa menunjukkan hasil yang menjanjikan pada parameter anti-inflamasi dan antioksidan, namun efek klinisnya bervariasi antar-penyakit sehingga rekomendasi yang kuat masih terbatas pada kondisi tertentu dan dosis terstandarisasi. Begitu pula pada bekam (cupping/hijamah): beberapa meta-analisis dan ulasan menemukan bukti manfaat pada nyeri kronis, osteoartritis, dan beberapa gejala muskuloskeletal, tetapi kualitas bukti umumnya rendah sampai moderat karena heterogenitas metode, ukuran sampel kecil, dan risiko bias; oleh karena itu hasilnya pantas dianggap promising namun memerlukan RCT besar bermutu tinggi dan standar protokol yang seragam.

Dari perspektif etika dan akidah, konsep tibb nabawi jauh melampaui sekadar teknik terapeutik—ia adalah sistem etika dan filosofi kesehatan berbasis wahyu yang menekankan niat, kehalalan bahan dan prosedur, serta ketauhidan dalam praktik penyembuhan. Oleh karena itu meskipun Islam tidak menolak ilmu kedokteran modern, ia menegaskan keseimbangan antara pengobatan ilmiah dan spiritualitas: pengobatan modern dipandang sebagai anugerah ilmu yang harus dimanfaatkan (dengan verifikasi ilmiah dan keselamatan), sedangkan aspek spiritual (doa, ruqyah syar’iyyah, bacaan Qur’an) melengkapi dimensi psiko-sosial dan religius pasien—selama praktik spiritual itu bebas dari unsur syirik, perdukunan, atau sinkretisme. Studi kualitatif di pusat-pusat pengobatan Islam menunjukkan bahwa efektivitas ruqyah sangat dipengaruhi oleh konteks, metode, dan kepatuhan syariah; oleh karenanya diperlukan standar praktik, pelatihan, dan penelitian agar layanan spiritual ini dapat diintegrasikan secara aman dalam layanan kesehatan modern.

Implementasi model integratif—yang menggabungkan protokol medis modern dengan terapi komplementer Islami yang berstandar—telah mulai diterapkan dan dievaluasi di beberapa negara Muslim. Malaysia, misalnya, selama dua dekade terakhir mengembangkan kebijakan nasional untuk integrasi T&CM ke dalam sistem kesehatan, termasuk unit-unit layanan T&CM di beberapa rumah sakit pemerintah dan regulasi praktik, yang menunjukkan jalur kebijakan untuk menggabungkan praktik tradisional dengan pengawasan medis. Di Arab Saudi, al-hijamah (bekam) telah diatur dan diintegrasikan ke dalam beberapa layanan kesehatan dengan standar praktik dan lisensi oleh otoritas kesehatan, serta beberapa rumah sakit akademik melaporkan studi klinis tentang efek bekam pada parameter klinis tertentu. Temuan-temuan awal dari RS Islam/klinik integratif di Malaysia dan Saudi menunjukkan manfaat terapi tambahan seperti bekam, herbal, dan layanan spiritual pada beberapa pasien kronis bila dijalankan di bawah pengawasan medis—tetapi catatan pentingnya adalah perlunya protokol keselamatan, dokumentasi efek samping, dan penelitian lebih lanjut untuk menilai efikasi nyata dan cost-effectiveness.

Tantangan dan Rekomendasi Singkat

  1. Keamanan dan efikasi: praktik tradisional harus didukung oleh bukti ilmiah bermutu — RCT terkontrol, metaanalisis, serta registri efek samping diperlukan. Contoh: bukti meta-analitik untuk madu pada penyembuhan luka dan untuk beberapa outcome pada Nigella sativa memberikan dasar awal, tetapi heterogenitas studi menunjukkan kebutuhan penelitian lebih terstandarisasi.
  2. Etika dan akidah: penting menetapkan pedoman syariah yang jelas agar praktik pengobatan Islami (seperti ruqyah) dijauhkan dari unsur perdukunan/sinkretisme; ini memerlukan kolaborasi ulama, dokter, dan regulator untuk merumuskan standar layanan, kurikulum pelatihan, dan sertifikasi praktisi. Studi lapangan di pusat-pusat pengobatan Islam menegaskan perlunya standardisasi metode ruqyah.
  3. Integrasi sistemik (pendidikan & penelitian): memasukkan T&CM dan tibb nabawi ke kurikulum fakultas kedokteran Islam serta mendirikan pusat penelitian interdisipliner akan mempercepat bukti ilmiah dan integrasi klinis yang aman; pengalaman Malaysia dengan kebijakan integrasi T&CM bisa dijadikan model kebijakan adaptif dan terkontrol.

Sebagai penutup, pendekatan integratif yang berlandaskan bukti dan akidah memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien Muslim—terutama pasien kronis yang mencari dukungan komplementer—tetapi keberlanjutan model ini bergantung pada penelitian berkualitas, regulasi yang kuat, dan pengembangan kapasitas akademik di universitas/universitas kedokteran Islam. Praktik-praktik yang sudah mulai diimplementasikan di rumah sakit-rumah sakit Islam di Malaysia dan Saudi memberikan bukti awal manfaat bila dilaksanakan dengan pengawasan medis; namun masyarakat klinis dan pembuat kebijakan harus terus mendorong studi terkontrol dan panduan etis agar manfaat tersebut dapat dipastikan dan disebarluaskan secara aman.


Jika Anda ingin, saya bisa: (a) menyusun daftar pustaka bergaya AMA dari studi-studi yang saya kutip di atas; (b) membuat tabel ringkasan bukti per-intervensi (madu, Nigella sativa, bekam, ruqyah) beserta tingkat kualitas bukti; atau (c) menyiapkan draf kurikulum singkat untuk program integrasi T&CM di fakultas kedokteran Islam. Mana yang Anda mau saya kerjakan sekarang?

Kesimpulan

Pengobatan komplementer dan tradisional dalam perspektif Islam memiliki dasar teologis yang kuat dan potensi ilmiah signifikan. Selama dilakukan sesuai syariah, aman, dan terbukti efektif, praktik ini dapat menjadi bagian dari pelayanan kesehatan modern yang holistik. Islam menegaskan pentingnya ikhtiar ilmiah dan spiritual secara seimbang, menjadikan kesehatan sebagai ibadah dan amanah.

Saran

  1. Diperlukan standarisasi ilmiah dan regulasi syariah untuk praktik PKT.
  2. Pengembangan kurikulum integratif di fakultas kedokteran Islam.
  3. Kolaborasi riset antara dokter, ulama, dan ilmuwan farmasi untuk validasi metode tibb nabawi.

Daftar Pustaka 

  1. Al-Bar MA, Chamsi-Pasha H. Contemporary Bioethics: Islamic Perspective. Springer; 2015.
  2. Ghaly M. The interaction between medicine, religion, and culture in Islamic societies. Zygon. 2018;53(2):428–447.
  3. Padela AI, et al. Islamic perspectives on integrative and complementary medicine. J Altern Complement Med. 2020;26(5):412–421.
  4. Khan MA, et al. Prophetic medicine and its modern evidence: A systematic review. Complement Ther Med. 2023;72:102898.
  5. WHO. Traditional, Complementary and Integrative Medicine: Global Report 2023. Geneva: World Health Organization; 2023.
  6. Ahmed S, et al. Ruqyah and mental health: An Islamic spiritual therapy. J Relig Health. 2021;60(5):3275–3289.
  7. Elmahjub E. Islamic law and complementary medicine regulation. Med Law Rev. 2022;30(1):145–168.
  8. Al-Zahrani A, et al. Integration of Tibb Nabawi into Saudi health system. Front Public Health. 2024;12:1146789.
  9. Halim M, Nasir N. The role of maqasid shariah in evaluating traditional therapies. Islamic Med Ethics J. 2022;4(3):233–249.
  10. Doufesh H, et al. Cupping therapy in Islam and science: A meta-analytic review. Complement Ther Clin Pract. 2023;51:101698.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *